Selasa, 28 Mei 2013

Hujan yang Terlewat

aku tak pernah menghalangi jejak hujan yang diam-diam dapat menerkam.
tak pernah pula menyangsikannya datang, meski kemudian ia hilang tanpa sebuah pamitan.
aku sedang mencoba menikmati semua gejala alam yang terkadang menggoda untuk berserapah.
mungkin aku hanya takut mengatasi sebuah kerinduan.
akan hujan. akan musim gerimis yang sangat redup, teduh, dan memanjakan.
jika musim kering itu datang dan meniadakan hujanku yang tenang.
maka mulailah lagi aku pada sebuah ruang penantian.
dimana aku mulai takut menjadi merah dan terbelah.
meski aku tahu Langit akan sama. tetap menjadi biru.
yang berbeda hanyalah matahari yang terlalu binal.
karena aku adalah Bumi, yang mulai sepi.
dan Langit yang mulai tinggi.
dan lapisan udara ini menjadi sangat tipis dan membuat kami berjarak.
bagiku,
“hujan adalah sebuah penebusan.”
dari Bumi pada Langit dalam kerinduan.

Kita Sebut Apa..?

Perjalanan ini dari sebuah kesederhanaan. Atas nama keingin tahuan atas segala pertanyaan. Apa kah benar, ini semua serumit yang kita bayangkan..

Akhirnya, aku berjalan kemana saja yang langkahku mau.
Pada pemberhentian pertama, di sebuah warung makan pinggir jalan. Terlihat seorang dewasa menyantap makan siangnya. Berbincang sejenak, lalu aku pertanya… cinta itu apa? Dia menjawab, cinta itu yaa.. ketika kamu merasa… uhm… apa yaa? / baik, misi gagal! Aku tidak menemukan jawaban.

Lalu langkahku yang asal ini menuju pos ronda, beberapa orang sedang main catur disana.. aku bertanya, cinta itu apa? Cintaa…. Yaaa… seperti itulah! Gak usah dipikir! Bingung… / baik. Yang ke dua juga gagal!

Tak pernah puas dengan jawaban orang dewasa tanggung, aku melangkah lagi.. kali ini disebelah kanan jalan ada sebuah rumah sakit bersalin.. aku menyebrang. Terlihat seorang perawat di meja depan… berbincang dengan dalih Tanya alamat, akhirnya aku bertanya, cinta itu.. apa? Cinta adalah ketika, kau mendengar tangisan bayi yang baru lahir.. / baik, misi sempurna! Ini adalah jawaban.

Masih ragu, kaki ku terus melangkah.. entah bagaimana aku sampai di sebuah rumah sederhana dengan pekarangan yang sangat rimbun, penuh bunga. Si pemilik yang sedang menyiraminya, aku sapa. Lagi-lagi dengan dalih Tanya alamat.. mulai aku bertanya, cinta itu apa? Beliau menjawab, masih dengan selang air untuk menyirami.. yang saya lakukan inilah, cinta! / luarbiasa, aku puas..

Tapi.. tunggu, aku belum mau menghentikan langkah. Beberapa meter dari rumah itu, ada sekolah menengah atas, ku piker aku harus objektif.. apa yang remaja-remaja ini pikirkan. Seorang siswa yang sedang istirahat, aku Tanya.. dengan basa-basi senjenak. Apa itu cinta? Dia langsung mengeluarkan gadget yang ia punya, menunjukan sebuah fotonya dengan seorang wanita.. bukan, bukan, pacarnya.. tapi ibunya. Ini, cinta… / luarbiasa. Aku tertegun. Memang pada awalnya ku pikir cinta itu, hanya pada lawan jenis, mengingat usia mereka. Kali ini aku bertanya lagi, pada seorang siswi, sama. Masih tentang cinta… dan, dia sangat malu menjawabnya.. hingga hanya tersenyum yang disembunyikan. / baik, aku paham… Aku jadi mengingat diriku sendiri, jika aku seusia mereka dan ditanya tentang hal tersebut, mungkin aku juga hanya diam dan malu.

Selangkah demi selangkah… sampai kakiku di sebuah taman kota, memang lebih mirip taman bermain, hanya ini tempat bermainnya saja. Ku berpikir, bisakah aku bertanya pada anak-anak ini? taman itu riuh dengan suara anak-anak bercanda, tertawa, ada yang bernyanyi dengan lantang, berteriak, bahkan menangis karena berebut mainan, ada yang tiba-tiba jatuh saat berlari dan menangis. Orang tua mereka menunggui dibawah pohon rindang. Ada yang tergopoh berlari, ketika mendapati anaknya menangis. Ada yang setia disamping anaknya karena harus menyuapi anaknya. Ini pemandangan yang sangat mengesankan. Senyumku, tawaku, bahkan mungkin sesekali airmata menetes.. ini adalah cinta!

Mataku tertuju pada seorang anak laki-laki bertubuh gendut, lucu sekali.. berbasa-basi ala anak kecil, lalu bertanya, apa itu cinta? Uhm… dia berpikir sejenak.. cinta itu, waktu kakakku mau membagi coklat sama aku/ aku tertawa lepas! Jawaban luar biasa,,
Kemudian ada lagi seorang anak yang merengek pada ibunya minta balon dari seorang penjual balon.. akhirnya,mengetahui itu dan karena aku juga suka balon, aku memberinya satu. Dia tersenyum sangat senang, ibunya sangat terlihat sungkan.. aku bertanya pada adik kecil itu., apa itu cinta? Cinta… uhm… dia menunjuk pada balonnya, itu.. cinta, kakak! Kakak baik.. terimakasih/ aku terenyuh… ini kah cinta?

Tertarik aku pada seorang anak perempuan berkuncir dua, memakai baju berwarna merah, bersama kakeknya, memetik bunga. Aku bersalam, berbincang, ternyata ibu dan ayahnya sibuk kerja.. anak itu akhirnya ku Tanya, apa itu cinta.. cinta itu, jawabnya.. ketika kakek memberikan bunga di makam nenek.  / ini… Jawaban! Aku tertegun lebih dalam!

Sekarang, aku paham… anak-anak belajar mencintai dari apa yang ia lihat. Dari coklat yang dibagi oleh kakaknya, dari balon yang diberi untuknya, bahkan dari bunga di makam neneknya. Sedang semakin dewasa ia, semakin cinta menjadi rumit makna, menjadi selalu bimbang untuk dibicarakan, ternyata seorang dewasa terlalu mengkotakkan pemikiran dan perasaannya dengan standard ang ia buat sendiri. Beberapa yang benar-benar memiliki hati yang peka, mampu memandang cinta dengan rasa yang lebih dalam, bisa mengungkapkan, dan melakukan. Membantu persalinan, hingga mendengar tangisan bayi, sampai merawat bunga dan menyiraminya sebagai wujud cinta.

Sebelumnya, seorang pasti berpikir cinta itu tabu untuk dibicarakan, karena saat remaja, pencitraan cinta menjadi sangat saklek. Ada yang sungguh mampu memaknainya, bahwa cinta adalah perwujudan seorang ibu.

Dan jika aku ditanya apa itu cinta.. akhirnya, aku bisa menjawab! Cinta terbesar adalah ketika aku masih mendapati jiwa dan ragaku masih utuh dan masih menyatu dalam peristiwa hidupku, hingga aku mampu mengumpulkan cinta yang lain, dan menebarkan cinta bagi yang lain pula.  Menikmati cinta dari apa yang aku lihat. Memaknai cinta dari apa yang aku rasa. Itu… cinta.
Apa menurutmu?

Sabtu, 25 Mei 2013

MERAPAL NIAT


Dalam sebuah perjamuan malam yang agung, ketika gerimis tipis mencurah penuh kasih, dan tak ada angin yang terlalu tajam menghujam.  Hingga mendung pun tak terlalu adidaya menukar cahaya rembulan menjadi sekam.

Ketika keduanya berbicara tentang sebuah ibadah sacral nan suci atas nama Rabb-nya.
Dua keluarga duduk dalam sebuah ruangan yang entah mengapa tiba-tiba terasa sangat biru, dengan sedikit rasa debar, gebu, dan ikhlas tertunduk dalam wajah-wajah yang mengharapkan semoga semua ini untuk pertama dan terakhir.

Seorang ayah dari perempuan itu mengucap salam akrab, menjamu tamu agungnya yang akan menjadi satu keluarga yang diikatkan dalam perjanjian yang bersaksi pada seluruh alam.
Perempuan itu hanya menunduk takzim dalam dzikir syukurnya, sampailah aku pada saat ini Tuhan, lancarkanlah… batinnya.
Sampailah sang ayah dari seorang lelaki itu mengutarakan semua harapan dari anak lelakinya.
Lelaki  dan perempuan menjadi sangat tertunduk dan hanya diam. Namun dalam wajah sang lelaki terbias keyakinan yang kuat.

Seakan semua doa lelaki dan perempuan terjawab. Selanjutnya, mereka akan disebut sepasangan.. bukan aku dan kau.

Ibu dari sang lelaki bertanya pada perempuan, apa yang akan sang perempuan inginkan sebagai hadiah pernikahan mereka nanti.

Dalam tunduknya perempuan menjawab
“ibu, saya hanya menginginkan lima lembar daun yang mungkin sulit ditemukan, yang sulit dicari, yang sulit dimengerti, mungkin tidak demikian jika kita menanamnya sendiri.”

“Apa itu anakku?” tanya sang ibu dari lelaki

“lima lembar daun dari sebuah pohon yang sangat indah dan suci” jawabnya
“saya hanya meminta lima lembar daunnya saja dan saya harap calon suami saya yang akan memberikan itu langsung kepada saya, andai kata daun itu telah saya terima, maka tidak akan ada rasa kecewa dalam diri saya. Dan,  tiap daun itu memiliki namanya sendiri-sendiri.”

Keluarga dari lelaki itu sedikit bingung dan merasa khawatir jikalau mereka tidak bisa memenuhi permintaan seorang calon pengantin yang sangat anggun tutur kata dan sikapnya itu.

Mengerti akan raut wajah mereka, sang perempuan memberi penjelasan lagi.
“nama-nama mereka adalah daun lembar pertama, kesetiaanmu –calon suamiku- pada Rabbmu, lembar yang ke dua adalah kesetiaanmu pada Rasulmu, lembar yang ke tiga adalah kesetiaanmu pada Al-qur’an dan Al-hadistmu, lembar yang ke empat ketesiaanmu pada Dienmu, lembar yang ke lima adalah kesetiaanmu pada wanitamu” dengan sedikit basah ia mengungkap apa maksudnya. ‘’mampukah kau?”

Dan lelaki menjawab dengan sangat lembut  lagi mantab..
“wahai perempuan yang bijaksana fikirnya, yang cerdas hatinya, yang lurus ucapnya…
telah ku ucap dua kalimat syahadat di tiap shalatku, telah ku shalawatkan Rasulku di tiap kesempatanku, dan semoga telah ku rapal semua wajib, sunnah, halal, dan haram dalam semua laku-ku, insya Allah. Dan malam ini, telah ku niatkan kau sebagai wanitaku atas nama penyempurna iman islamku… jika aku hadir di sini tanpa mengenggam simpul setiaku, maka kelak jangan turuti aku sebagai imammu.”

“subhanallah…”
“bismillahirrahmanirrahiim….telah ku cukupkan semua syaratku dan ku mantabkan diriku menjadi istri bersuamikan engkau dan ibu dari anak-anakmu, serta makmum dalam sujudmu…” jawab perempuan itu dengan nada bergetar namun sangat kuat lagi yakin.

Seraya alam menjadi binar, ketika apa yang telah di inginkan dari dua orang hamba yang taqwa akan Tuhan mereka itu terucap atas asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang…


*rapalkan lah niat kita atas namaNYA, maka segala kasih tak kan tersisih, segala sayang tak kan melayang, dan semua alam menjadi alunan doa-doa yang tak kan berhenti….* aamin…

kupu, dan malam

Aku melihat kupu-kupu di tengah malam, selepas hujan
aku yang sedang tak ingin tidur kala itu, akhirnya menghabiskan malam dengan menziarahi aroma tanah yang menyeruak segar dari kunjungan hujan yang tak terlalu berderu.
Di sebuah bangku taman yang basah, aku duduk. Mendongakkan kepala. berharap bulan cepat kunjung menemaniku. Namun, yang ku dapati hanya sisa awan hitam yang belum wakunya untuk menjadi hujan. Mungkin esok pagi, awan ini akan menumpahkan hasratnya. Itu berarti, akan banyak anak-anak beriang canda diguyur hujan dan akhirnya tak sekolah.
Aku mencari sudut lain untuk menemani mataku yang tak mau terpejam. Diujung sandaran bangku taman, seekor kupu-kupu takzim menunduk. Mungkinkah masih ada kupu-kupu selarut ini? apa ia tersesat? Pikirku.

Aku mendekatinya perlahan. Sejengkal, demi sejengkal. Lampu taman yang sendu menyinari sayapnya yang lebar. Berwarna biru gelap mengkilat corak perak yang megah dilingkari warna merah yang berani. Seumurku hidup, baru kali ini ku temui kupu-kupu secantik dihadapanku ini.
Aku sangat menjaga  gerakanku mendekatinya, tak ingin ia pergi menghilang, dan aku tak memiliki kawan lagi. Dan.. benar. Aku tak bisa menahannya. Dia pergi, melayang, mengambang diudara, tepat ketika tanganku bergerak. Bangku taman yang berderit membuatnya tersentak dan terbang.
Kepalaku mendongak keatas dimana ia terbang. Berbelok kekanan, dan aku berdiri. Terbangnya makin rendah hingga aku tak lagi butuh mendongak. Mengikutinya. Serasa aku terhipnotis dengan kepakannya yang anggun lagi mantap. Selangkah, demi selangkah..

Kupu-kupu itu akhirnya berhenti lagi. Di sebuah pagar rumah kayu dengan halaman yang tak luas namun rapi. Mungkin, wangi mawar dan kenanga membuatnya terundang untuk berkunjung.
Setelah cukup ku pandanginya, aku baru tersadar, aku berada di depan rumahku sendiri.
Lampu kamar bawah menyala. Tak lama, pintu terbuka, seorang wanita berdiri dan memanggilku. Bertanya apa yang aku lakukan ditengah malam yang dingin ini bahkan tanpa alas kaki.
Seperti sebuah jentikan jari dimataku. Aku tersadar. Tak ada kupu-kupu dihadapanku. Tak ada wangi mawar dan kenanga. Tak ada aroma tanah basah. Bahkan  aku baru sadar, tak ada taman di dekat sini. Darimana aku tadi?

Akhirnya, aku masuk rumah dengan selembar selimut tebal dari wanita tadi. Tak lama akhirnya aku berbaring di kasur putih yang hangat, dengan secangkir teh panas. Ketika ku tolehkan wajahku pada cangkir itu… kupu-kupu cantik yang belum pernah ku lihat itu, berada dibibir cangkir. Dan baru kusadari…
Siapa wanita tadi? Aku hanya sendiri di rumah ini?
Kupu-kupu, wanita, malam, hujan, aroma mawar, kenanga, bangku taman…       

Sajak-sajak Sakti Mutiara | AngkringanWarta | Tongkrongan Informasi

Sajak-sajak Sakti Mutiara | AngkringanWarta | Tongkrongan Informasi