Senin, 17 Juni 2013

Segelas Air Mata

dia datang lagi, namun kini mungkin ada yang berbeda.. sudah terlampau lama kami tak bersua. mungkin semenjak pertemuan di sebuah kedai teh yang kami puja. kedai teh itu menyajikan aroma kenangan bagi kami. menyeruak lembut dalam hatiku sebersit nostalgia yang melambung. kedai teh yang tiap jumat sore kami rutin kunjungi. hanya karena lelah dengan rutinitas kerja yang hanya memandangi layar berwarna yang menyajikan berbagai data yang segera harus diolah. kedai teh itu memang terletak di persimpangan jalan antara kantor kerja ku, dan toko bunga tempatnya bekerja.

lama nian aku tak lagi mampir disana. mungkin karena kami juga tidak pernah bersama lagi. dia, sahabat yang menyenangkan. berbagi apa saja, menertawai kekonyolan akan kehidupan bahkan kesialan yang menimpa kami. membicarakan rekan kerja masing-masing. dan, tentang cita masing-masing. dia yang ingin sekali ke belanda, dan aku yang ingin sekali terbang ke india. jauh berbeda! kami memang memiliki selera yang jauh berbeda. aku yang pasrah saja menerima kerja di kantor, dengan meja kursi dasi kemeja ---semua membosankan. sementara dia, rela gelar S1nya hanya berada di balik bunga yang dia tata dan rawat tiap pagi di tokonya.

perjumpaan nanti senja, adalah perjumpaan yang pertama setelah sekian bulan, ah.. atau tahun -tidak bertemu. aku dengan rutinitasku, dan dia dengan langkah kelincinya yang lompat kesana-kemari mencari yang ingin dia temukan, namun tak kunjung dia dapatkan. apa yang dia cari? --sejauh aku mengenalnya, aku pun tak tahu apa yang dia cari.

matahari merendah, lampu ruang kerja dimatikan. segera ku berjalan di kedai teh tempat kami berjanjia. dari surat elektronik yang dia kirim kemarin menandakan dia ingin, bahkan sangat dan harus bertemu.. aneh memang. ketika mengingat kembali mengapa dia tiba-tba hilang. ketika ku tanya di toko bunga tempat kerjanya waktu itu, kawannya hanya berkata, dia pergi ke suatu tempat dmana dia merasa akan menemukan yang dia cari. ah! dia memang terlalu semu untuk ku raba pemikirannya. namun, sejauh ini aku nyaman, bahkan merasa kehilangan.

kini aku berada di meja dekat jendela kayu di lantai dua kedai teh. aku memesan teh tarik hangat -seperti biasa. dan dia nanti --ku rasa akan memesan es teh mint. huuum... ku hirup dalam-dalam. dan dinding kedai ini mulai bercerita tentang kisah-kisah kami yang kami sembunyikan di dalamnya, aku mengingat itu semua. sesaat gerimis hadir, arome petrichor memanjakan. sekilas ku pandangi jalan dari atas. nampak gadis berkulit langsat dengan gaya kasual, rambut panjang yang dia tahan dengan karet, membawa tas yang sudah kumal, berjaket ala armi. terburu-buru ia masuk kedai. itu dia! sudah datang...!!

aku menyapanya dengan melambaikan tanganku. dia duduk dengan raut muka bersenyum palsu. ada kah yang salah?
sesaat pelayan datang.. menawarkan menu, namun gadis di depanku ini menolak. dan hanya meminta air putih saja. aku heran, air putih? mana teh mint yang dia agung-agungkan itu?

sesaat dia menunduk di hadapanku, diam. kami diam. suara denting hujang yang berirama. dia perlahan mengangkat wajahnya..
di ceruknya ku temukan buliran air mata yang lembut menuruni wajahnya...
aku kaget, bingung. tak tahu apa yang harus ku lakukan..
air mata itu tak henti berdiam. turun lagi, lagi, dan lagi.. kini pundaknya terguncang, sesenggukan.

aku hanya menatapnya hening.. seolah bertanya, ada apa, gadis?
akhirnya dia berkata, "aku hanya ingin tahu, bahwa aku bisa menangis dihadapanmu.. tangis yang tak pernah ku tunjukkan di hadapan laki-laki, apa lagi kamu. aku hanya ingin kau tahu, bahwa aku lelah mencari. dari perjalanan jauhku, aku menyadari bahwa yang ku cari, ada disini.."

segelas air putih datang pada meja kami, bersisihan dengan segelas air mata yang membuatku mengerti..

Minggu, 16 Juni 2013

Apa Kabar Sekolah Inklusi...?

Menelisik kembali tentang sekolah inklusi yang menjadi dengungan dunia pendidikan Indonesia, apakah sekolah inklusi telah menemukan tempatnya dengan nyaman, atau kah masih memerlukan banyak koreksi dari berbagai lapisan? Lapisan yang dimaksudkan 1adalah lapisan sistem, paradigma masyarakat, keturutsertaan masyarakat dalam peran aktifnya, dan tentu tak lepas oleh peran pemerintah sebagai penguat yudisial.

Sebelum lebih jauh mengupasnya, mari kita berkenalan terlebih dahulu dengan apa yang disebut sekolah inklusi. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 menyebutkan bahwa: Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Secara operasional, Watterdal (2005) menjelaskan dalam Kuning (2010) bahwa sebuah pendidikan inklusi adalah merangkul dan menerima keragaman. Tidak hanya mentolerirnya, tapi juga mendorong keingintahuan dan kreativitas. Bukan hanya menyesuaikan atau kompromi , tapi juga menciptakan sebuah semangat kompetisi yang konstruktif . Bukan di antara anak, tapi anak-anak tersebut akan bersaing dengan dirinya sendiri. Secara mudah, sekolah inklusi adalah sebuah sekolah dimana anak berkebutuhan khusus dengan anak normal duduk di suatu kelas yang sama dengan sekolah yang sama, namun tetap ada guru khusus yang menemani anak berkebutuhan khusus ini belajar dikelas jika diperlukan.

Tentu pengertian tentang sekolah inklusi ini memberi semacam pencerah bagi dunia pendidikan anak yang selama ini masih berada dalam lorong panjang tanpa cahaya. Sekolah inklusi memberi jawaban atas banyak doa-doa anak berkebutuhan khusus diluaran sana yang menginginkan sekolah yang sama dengan teman sebayanya. Tidak hanya pendidikan yang mereka dapatkan dari adanya sekolah inklusi, lebih dari itu bahkan kepercayaan diri anak berkebutuhan khusus dapat meningkat bersama dengan dunia pertemanan mereka yang meluas, dan tidak adanya lagi diskriminasi atas hak-hak mereka.

Sekolah inklusi tidak hanya memberi jawaban atas doa mereka, namun menjadi pembelajaran tersendiri bagi siswa biasa yang duduk bersama di bangku sekolah dengan teman berkebutuhan khususnya, mereka diajarkan menerima perbedaan dan akhirnya mereka menganggap semua kawannya adalah sama. Sama dalam arti tidak lagi untuk dibedakan bagaimana dia secara fisik atau mental, karena akhirnya mereka menjadi paham bahwa pertemanan menembus segala keterbatasan bahkan tidak ada lagi kata-kata “aku tidak berteman dengannya, karena aku berbeda dengannya.” Anak-anak akan memahami dunia ini adalah dunia yang berwarna dengan segala rupa, dengan segala isi yang beraneka.

Tulisan diatas terdengar sangat optimis. Ya benar, kita memang harus selalu optimis pada sebuah kebijakan dan sistem yang ada, sikap optimis atas sistem ini tidak akan terlaksana tanpa adanya suatu aksi yang nyata dengan mendukung dan turut serta melaksanakannya. Namun, tidak pantas juga jika kita hanya melihat dengan mata satu yang tertutup, kedua mata memang harus terjaga mengawasi segala bentuk kemungkinan. Maka, patutlah dipertanyakan, apakah kurikulum pendidikan kita telah siap dengan adanya sekolah inklusi? Mengingat bahwa penilaian siswa biasa dengan siswa berkebutuhan khusus itu berbeda pencapaiannya. Selanjutnya, apakah tenaga pendidik mampu memenuhi kebutuhan siswa berkebutuhan khusus dan siswa biasa, melihat bahwa tidak semua guru memiliki rasa untuk membina siswanya, karena selam ini banyak guru yang hanya mengajar tidak mendidik apa lagi membina. Dan yang paling penting, adalah bagaimana cara menanamkan rasa toleransi dan kebersatuan bagi siswa biasa untuk lebih memahami kawannya yang berkebutuhan khusus. Apakah malah dengan adanya kawan yang berkebutuhan khusus ini siswa yang lain menjadi terpecah konsentrasinya? Jika semua pertanyaan ini tidak mampu terjawab dengan tepat, maka sekolah inklusi hanya seperti solusi semu yang kemudian memberi masalah baru di dunia pendidikan.

Hal ini tidak hanya omong kosong belaka, karena di beberapa sekolah yang sempat ditemui, sekolah yang awalnya umum mendadak menjadi sekolah inklusi hanya karena Surat Keputusan, tanpa ditanya kesiapanya. Dari sedikit sisi ini mungkin kita bisa sedikit terbuka, apakah sekolah inklusi memang jawaban yang tepat? Apapun atau bagaimana pun, Indonesia dengan pendidikannya harus tetap optimis! Sebaik apapun retorika dilantunkan, seideal apapun kebijakan diputuskan jika tanpa adanya peran aktif semua tangan masyarakat, maka akan sama saja.

Sakti Mutiara
Dari atas kereta, 080613

Jumat, 14 Juni 2013

Pada Seorang Lelaki


Aku menemukanmu diantara puing hujan yang sedari tadi pecah dari langit
Aku menemukanmu diantara rerumput yang gemulai berdamai dengan angin
Aku menemukanmu di mata seorang ayah yang sabar menunggui anaknya pulang sekolah
Aku menemukanmu di air mata hangat yang tak pernah rela jatuh dengan murah
Aku menemukanmu dari aliran sungai yang gemericik tenang di tengah hutan pinus
Aku menemukanmu tersibak dilembutnya awan-awan yang ringan bergerak
Aku menemukanmu dari senyuman anak-anak yang menggenggam erat gula-gulanya
Aku menemukanmu di jemari yang mengepal kuat untuk terus bergerak
Aku menemukanmu di detak langkah kaki sepatu yang harmonis mengetuk lantai
Andai kemudian aku melupakanmu,
Aku akan kembali mengingatmu dengan banyak hal semampuku..
Karena sungguh sederhana citramu ku gambarkan dalam imajiku
Dalam keheningan yang ku ciptakan sendiri pun
Aku mampu mengingatmu
Dari pejaman mataku,
Dari telinga yang ku hening kan..
Aku menemukanmu dengan cara-cara yang sederhana

Menjadi Dewasa

setiap kita melewati anak tangga dalam setiap jenjang kehidupan. mungkin terkadang kita harus rela terhenti sekejap dan tidak naik ke tangga selanjutnya, demi mengukur angin yang menerpa. terkadang kita harus rela trun lagi satu jejak, karena tangga diatasnya belum siap untuk kita jejaki..

namun, apa pun yang kita lakukan.. semua adalah demi sebuah kedewasaan. ada yang menjalani kedewasaan dengan tidak terduga. tiba-tiba harus mengerjakan tugas kedewasaan dengan tanpa penawaran, siap atau tidak. ada yang diberi banyak kompensasi atas definisi kedewasaan, yang akhirnya ia tak pernah menjadi dewasa. sebab lingkungan selalu memaklumi semua kesalahan-kesalahan yang seharusnya itu mampu mendewasakan

hati. adalah yang paling utama untuk menjadi dewasa. jika saja hati tak pernah menjadi dewasa, maka ego kanak-kanak, masih saja menggoda dan meraja.

kini.. menjadi dewasa adalah dengan mampu mengukur jalan mana yang akan kau tempuh. menakar apakah kaki ini siap diajak berlari atau hanay berjalan saja. mengarahkan pada tujuan mana sekiranya menuju.

menjadi dewasa adalah dengan berani memilih dan bertanggung jawab atasnya. berani mengambil peran, bagaimana dia harus berperilaku pada kedewasaannya itu..

berpikir untuk tidak hanya tentang harapanmu untuk hidupmu, tapi harapan orang lain terhadap hidupmu atas adanya dirimu.. bukan lagi tentang apa yang kau ingin kan, tapi apa yang kau dan mereka inginkan. karena setiap keputusan akan menuntut keputusan-keputusan besar yang lain.. dan disetiap keputusan, kau menurut sertakan arah jalan orang lain..

Rabu, 05 Juni 2013

Berbincang Tentang Pendidikan Anak Islam


Jika memang benar pendidikan adalah pilar utama dalam pembangunan masyarakat bahkan peradaban suatu masa, maka sudah selayaknyalah kita sebagai individu berpendidikan menjadi penggerak adanya sebuah perubahan. Karena, telah jelaslah bahwa arti mendidik adalah mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang lebih mumpuni. Mendidik tidak hanya ditugaskan oleh seorang bergelar “guru.” Pendidikan pun tak hanya terbatas pada bangku dan tembok sekolah. Sebab ilmu tertulis disetiap peristiwa, terrekam disetiap gejala alam, dan terbingkai di tiap fenomena manusia. Bukan lagi saatnya pendidikan dilakukan hanya dengan berseragam dan buku tebal. Pendidikan karakter yang diharapkan tak hanya didapat dari sebalik halaman-halamn buku. Masih kah kita mencedirai arti pendidikan itu sendiri? Dari Rasulullah lah kita seharusnya berporos, menelaah kembali hakikat pendidikan bagi anak. Bahwa ternyata Pendidikan utamanya ditugaskan kepada orangtua, kemudian lingkunganyalah yang menjadi tempat pembiasaan anak menjadi terdidik. Karenanya lah pendidikan menjadi hak anak atas kedua orangtuanya. Apa kah Rasulullah memberi teladan dalam mendidik? Sungguh, beliau adalah manusia sempurna yang menurutkan segala perilakunya untuk menjadi uswatun khasanah. Terdapat beberapa karakter yang seyogyanya dimiliki seorang pendidik :
a.) Penyabar dan tidak pemarah. b.) Lemah lembut dan menghindari kekerasan.  c.) Hatinya penuh dengan kasih sayang. d.) Memilih yang termudah di antara dua perkara. e.) Fleksibel f.) Tidak emosional g.) Bersikap moderat dan seimbang.  h.) Ada senjang waktu dalam memberi nasehat. (disarikan dari buku Prophetic Parenting)

Minggu, 02 Juni 2013

Sasmara Dhahana*


Oleh Sakti Mutiara E

Andai apa yang ku lakukan saat ini hanya sia-sia dan membuang waktuku, maka aku tak kan pernah menyalahkanmu. Mungkin memang aku yang terlalu memaksakan segalanya. Dengan sangat mempercayaimu. Namun, sungguh! Aku sangat percaya padamu saat ini. Percaya bahwa  kau benar-benar akan datang, dan segera ku lekat engkau disini, di tempat yang jauh dari kata romantis. Di tempat titik awal semuanya –yang bagiku menjadi awal yang berubah sempurna, setelah aku menyadarinya. Namun adakah kau pun percaya bahwa aku benar-benar akan datang?
Malam ini, minggu 3 Januari 2010. Aku menunggumu. Menunggu tanpa bisa menghubungimu, untuk memastikan kau benar-benar akan datang, atau sekedar berkirim pesan singkat lewat telepon genggam“Aku sudah sampai. Kau dimana?”
Tapi, entah mengapa aku sangat yakin, kau pasti datang. Membayar janji kita saat lalu.

    Langit Solo bergeliat dari temaram. Mencari terangnya dari sebuah rembulan yang sayu. Namun awan legam lebih penuh daya. Menjajah langit dan membiarkannya menghitam seperti jelaga. Kemudian awan bergesekan, menimbulkan kilat yang maha sempurna untuk menyobek langit yang durja. Tak hanya sekali namun berulang, lagi dan lagi. Kemudian gemuruh yang dahsyat mencengkeram alam seakan tak mampu lagi bebas dari amukan. Selang menit bergulir, awan hitam itu meleleh berubah menjadi hujan yang tiba-tiba turun dengan derasnya.
Oh.. lengkap sudah! Aku basah tak beraturan disini, hanya untuk menjumpaimu. Namun, deras hujan terlalu jalang, ku putuskan tuk pacu motorku, mencari tempat berteduh. Akhirnya ku temukan kios tambal ban yang berjajar dengan kios-kios buah, berseberangan dengan stasiun Purwosari –tempat yang kita janjikan.
    “Bocor, Mas?”, Tanya seorang bapak pemilik tambal ban ini.
    “Mboten, Pak. Ndherek ngeyup, nggih?1”. Jawabku sembari melepas helm.
    “ oh… Monggo, monggo.2”, jawabnya dengan senang hati. “Mau kemana toh Mas memangnya?”
    “Nunggu orang, Pak..”, jawabku dengan sebuah senyum. Senang aku mengatakannya.
    “ Owalah… pasti nunggu orang penting ya, Mas? Hehehe..” ucapnya. Dan aku hanya tersenyum simpul. Ya, orang ini sangat panting, Pak, batinku.
Tak lama terdengar laju kereta api membelah kota. Derunya berpacu dengan suara gemuruh langit yang masih saja mengucurkan hujan.
Aku memastikan tasku tidak kuyup. Dan  lega ketika aku mendapati buku Empat Kumpulan Sajak yang ditulis W.S. Rendra , masih rapi tersampul, tak terjamah hujan setetespun. Bahkan sepucuk surat beramplop yang ku sisipkan, masih terlihat baik-baik saja disana. Sengaja ku selipkan ia di halaman 17 pada halaman sajak Rendra berjudul Serenada Hijau.
Ku pacu kudaku. Ku pacu kudaku menujumu. Bila bulan menegur salam…3
    Ku hitung detik demi detik yang membunuhku disini. Aku terpenjara, terpenjara oleh runcing kaki hujan yang menapak tanah, terpenjara oleh sebuah janjiku padamu, terpenjara oleh kebisuan dengan lelaki di sampingku ini –yang sedang menikmati radio yang sesekali hilang gelombangnya.
Mataku tak pernah lepas dari stasiun Purwosari di seberang jalan. Berharap kau datang dan bersambut salam bersama senyum yang ranum. Namun, tak ku dapati jua kau. Ayolah Tuhan… begitu sulitkah aku menemuinya sekali ini?
    Setengah jam.. hujan tetap tak mau mengalah atau untuk sekedar menguragi lajunya. Ku lihat sudah dua kereta api berlalu disini. Dari arah stasiun Purwosari dan yang satunya dari arah stasiun Balapan.
    “Sudah setengah jam kok hujannya gak mau berhenti ya, Mas? Hehe.wong …ya. januari..… udane nggrejeh wae.4”, ucap bapak ini memulai percakapan, mungkin ia bosan juga dengan sinyal di radio bututnya yang tak mau tenang.
“Yang ditunggu kok belum datang toh, Mas? Memang nunggu siapa kalau boleh tahu? Apa ndak bisa dihubungi, Mas?”, tanyanya.
    “ Temen, Pak. Dia mau pinjam buku. Sayangnya, saya gak punya nomer HPnya, Pak.” Jawabku masih dengan nada optimis. Dan disambut dengan sebuah ohh… dari si Bapak.
 “Pak, tau gak kenapa hik5 dekat rel itu sudah gak ada?” tanyaku penuh rasa ingin tahu.
    “Oh,, seminggu yang lalu di dekat rel ada penertiban jalan, Mas. Sepertinya mau ada perluasan jalan, gak terlalu paham juga, Mas. Hik itu juga baru kok, paling belum ada lima bulan di situ. Saya juga belum kenal sama yang punya.” Jawabnya. Pertanyaanku terjawab sudah, dan aku makin gelisah.
Aku kembali terbisu. Kali ini aku benar-benar kelu. Semua beradu. Rasa percayaku yang teguh untuk tetap menunggumu, rasa rindu yang siap tersulut, rasa ragu yang terus melaju. Tapi, aku tetap yakin! Tuhan tahu apa yang harus Dia lakukan padaku. Lihat Tuhan, aku tidak menyerah termakan waktu! Aku masih disini! Nilailah kegigihanku Tuhan..
    Aku keluarkan buku karangan Rendra itu, sembari terlamun bayangmu.
Persis seperti saaat ini. Tepat ketika langit menghujat bumi dengan hujannya, dengan kilatnya, serta dengan gelegar gemuruhnya!
Saat itu aku sungguh menuduh Tuhan dengan nasibku yang benar-benar buruk! Hampir pukul Sepuluh malam aku pulang dari kampus. Tugas menumpuk sebagai tugas akhir semester ganjil, dan sampainya aku di Purwosari, ban motorku bocor! Tak ada jas hujan, padahal hujan sungguh sedang menguji kesabaranku saat itu. Sempurna sudah!! Aku menuntun motorku sampai ke kios tambal ban –yang jadi tempatku bertuduh sekarang. Sembari aku menunggu ban dalamku diganti, aku memutuskan menyeberang ke sebuah hik yang tak jauh dari rel kereta api. Sekedar nge-teh atau manyantap gorengan sembari menghangatkan tubuh yang mengggigil. Baru sekali ini aku ke hik itu.
    “Ngunjuk napa6, Mas?” Tanya pemilik hik.
    “ Teh anget aja, Pak.” Jawabku semabari memandang sekeliling. Kemudian telingaku tertuju pada suara lembut yang sedang membaca ayat. Suaranya lirih.. namun terdengar jelas dan melantun indah. Seakan hujan, petir, gemuruh langit dan laju kereta tak mampu mengalahkan suara itu dari telingaku. Seolah semua alam berdamai dalam lantunan ayat itu. Tertunduk mereka semua akan desir suara yang lirih redam. Aku mencoba mencari asal suara itu. Akhirnya ku lekat seraut wajah gadis dari bawah lampu yang redup di atas meja yang menghidangkan nasi bungkus dan aneka gorengan yang sedang terduduk di pojok tenda biru hik ini. Saat itulah aku menemukanmu. Ya, seorang gadis berkerudung biru muda yang tengah mengeja Al-Qur’an. Kau tidak terlalu cantik. Namun wajahmu khas gadis Solo yang luruh dan sangat sopan.
Saat itu aku coba menghangatkan kuyupku dengan mendiskripsikanmu.
Pertama yang aku pandang adalah matamu. Matamu yang sangat teduh tertunduk mencoba menghalau redup untuk tetap mengeja kitab. Bulu matamu sangat anggun, benar-benar anggun. Bulu matamu panjang… jatuh tertunduk diantara kelopak matamu yang melengkung indah.. itulah yang indah darimu!
Sangat menarik ketika aku mencoba menggambarkan bibirmu yang sungguh ranum nan delima.. selayak mawar yang utuh yang tersepuh embun yang suci.
    “Ini Mas, tehnya.” Kata  bapak pemilik hik ini seraya menyodorkan teh hangat yang mengepul. Aku menyeruputnya… namun mataku tak berpindah darimu.
    “Nduk, belikan gula ya di dekat stasiun?!”. Pinta pemilik hik padamu. Hah… ternyata kau –gadis bersuara sutra yang telah memahat hatiku- putri pemilik hik ini.
Saat itu aku  buru-buru pergi, karena hujan mulai merendahkan langkahnya, dan malam semakin tenggelam.
    Sejak malam itu, aku tak dapat lagi menghimpun nyawaku kembali utuh. Nyawaku telah terbagi dengan banyangmu, wahai gadis..
Bahkan aku telah menuntun hatiku sendiri untuk mengucap sesuatu yang serasa tabu bagiku sejauh ini. Sungguh tabu hingga aku tak mampu mencari kata apa yang tepat untuk menjelaskannya.
Sungguh gadis, aku tak mampu lagi… aku ingin kembali pada ‘nasib buruk’ku kala itu.
Tapi seakan waktu tak mau tahu hatiku, semua tugas, urusan organisasi, dan keperluan yang tak bisa ku tinggalkan, membuat waktuku tak bisa menghampirimu lagi. Itu masalahku!
    Hampir tiga minggu, aku baru bisa menyembuhkan dahaga yang terlalu kerontang! Akhirnya, aku bisa kembali menjumpaimu, gadis…
Malam sangat sendu kala itu. Hanya gerimis yang terlukis, dan rembulan tipis yang samar dan pucat –khas rembulan Desember. Ketika itu sekitar pukul delapan malam, ku paksakan waktuku untuk mampir ke tenda hikmu, hanya untuk menangkup wajahmu lagi. Tapi kali ini tak ku biarkan kita –aku dan kau, gadis- tuk hanya diam dan bisu! Aku ingin kali ini, ucap kita ikut berdenting selayak gerimis.
    Akhirnya indra lihatku menangkap seraut wajahmu yang pualam. Dan kau tahu, gadis, sepertinya hatiku sedang hujan madu yang sangat segar dan harum saat itu… Dahagaku terbayar!!
    “Mau minum apa, Mas?”, sapamu padaku. Saat ini kau hanya sendiri, dan tenda hikmu hanya terisi empat orang, termasuk aku dan kau.
    “Teh anget aja, Dik.” Jawabku dengan sedikit senyum.
Tak lama, segelas teh hangat yang sangat wangi kau sajikan kepadaku. Dan sesimpul senyum yang sangat wajar pun kau sajikan di bibirmu. Tapi kewajaran itu yang membuatmu istimewa!
    Kau duduk kembali di tempatmu semula. Kali ini bukan Al-Qur’an yang kau sandang, melainkan buku ukuran A5 yang sudah munguning kertasnya. Lamat-lamat ku baca sampulnya, yang tertangkap mataku hanyalah kalimat “kumpulan puisi…”. Dan aku sedikit terheran. Sesungguhnya manusia apa engkau? Tapi akhirnya aku tahu kalimat apa yang harus ku ucapkan padamu untuk kedua kalinya –setelah “teh hangat” tadi.
    “Penikmat sastra ya, Dik?”, tanyaku padamu. Dan saat itu kau sedikit tersentak, ada kesan tersipu di rautmu.
    “ Hehe, iya. Mas?” jawabmu sangat sederhana. Namun itu yang ku harapkan.
    “Kebetulan saya mahasisiwa Sastra Indonesia UNS, Dik. Hehe”
    “ Wah… menyenangkan! Bisa ketemu dengan seorang calon penyair seperti Mas!”, jawabmu dengan mata binar. Dan aku tersenyum geli.
Penyair? Untukmu, gadis.. kan ku syairkan purnama, ku puisikan samudra dan ku sajakkan gerimis ini.. agar lengkap jagadmu nanti. Ku harap kan jadi jagad kita. –harapan macam apa ini? Konyol!
    Bersama teh yang semakin kandas, malam yamg semakin legam, dan gerimis yang masih kekal mencurah, semua kata telah tumpah di bawah tenda biru ini. Sedikit tawa, diskusi yang tak serius, obrolan ringan tentang satra dan seni teater yang sangat kau puja. “Rasul mengindahkan sastra, sebab ia mampu melembutkan jiwa!” katamu ketika ku tanya mengapa kau menikmati sastra. Dan aku mulai mengerti siapa kau, wahai gadis pembawa setengah jiwa…
Terkadang mata kita sejurus, di redup ini ku cerna ada ranu7  yang tersaji di balik bulu matamu yang luruh, tepat di dalam selaput pelangimu.
Terkadang bincang kita tak terarah namun kau bisa membuatnya nikmat untuk ku selami alurnya. Dan akhirnya, pucuk di cinta ulam pun tiba! Sesuatu yang ditunggu seorang pria tentang seorang gadis, yaitu nama sang gadis. Kini ku bisa menyapamu dengan sapaan yang singkat “Ra”, begitu jawabmu ketika ku tanya bagaimana aku menyapamu. Sebab ketika kau ucapkan nama panjangmu, aku tak bisa mengingatnya, karena namamu terlalu asing bagi telingaku! Kemudian ku tanya apa artinya, dan kau menjawab dengan sangat memerah “Pernyataan cinta yang sungguh-sungguh atau cinta yang menggelora.” Jawabmu. Luar biasa! Nama yang sangat sempurna untuk makhluk sepertimu, wahai gadis. Tahukah kau? Tak perlu malu, karena begitulah engkau, setidaknya di mataku.
Kemudian ku perkanalkan pula namaku. Dan kau menanggapinya dengan ungkapan  yang membikin badai dalam dadaku “Ru,Semeru? Nama yang gagah, Mas..” katamu, bola matamu menerawang sambil mengulum senyum sendiri. Sungguh manis, Ra.
Dan perbincangan kita bermuara lagi tentang sastra. Dan kini hadirlah nama W. S. Rendra.
Kemudian aku menyebutkan  beberapa judul puisi Rendra, Surat kepada Bunda: Tentang Calon Mertuanya, Stanza, dan Kangen.
    “Wakh, belum pernah baca, Mas.. sayang sekali! Sepertinya bagus banget ya? Di SMA saya sangat minim untuk menikmati karya satra khususnya puisi-puisi, Mas! Menyebalkan memang, sastra seperti sengaja tidak diakrabkan dengan siswa! Seakan siswa disuruh mencari sendiri, berbeda ketika kita belajar eksak! Semuanya siap saji, ada rumus ini ya makan saja rumus ini! Tapi itulah asyiknya sastra, bebas yang sangat bernorma. Sama halnya ilmu sosial bukan? Itulah mengapa saya memilih jurusan ilmu sosial, Mas! hehehe.”, katamu dengan sangat menggebu.
    “Kalau mau, bisa saya pinjamkan kumpulan puisi Rendra, Dik. Judulnya Empat Kumpulan Sajak.” tawarku padamu.Dan jelas kau sambut dengan anggukan yang penuh semangat.
 Dan kita sepakat untuk bertemu di depan stasiun Purwosari saja, selepas isya’, minggu -3 januari 2010.
***
    “Mas, hujannya sudah reda… lha kok malah melamun!”, kata Pak tambal ban sambil menepuk bahuku.
    “Wakh.. hehe.. iya,Pak.”, jawabku sedikit terkaget. Aku berdiri dan mataku langsung menyapu ke seberang arah stasiun Purwosari. Berharap menemu sosokmu. Mataku menangkap sesosok gadis berkerudung biru, mirip dengan kerudung yang kau kenakan saat pertama aku bertemu denganmu, Ra. Namun sayang gadis itu menghadap pintu masuk stasiun yang berarti membelakangi arahku. Hendak ku panggil namamu, Ra, bahkan aku sudah siap dianggap tidak sopan. Dan hampir saja ku pacu kakiku kearahmu. Meski ku tak yakin itu kau.
Namun sejurus dengan niatku, telepon genggamku berdering terburu. Tersentak aku ketika mendengar suara dari seberang, yang mengharuskanku segera pulang! Seketika aku buyar! Ku pacu motorku dengan tergesa, bahkan aku tak sempat berpamitan dengan bapak ini atau hanya sekedar berterimakasih. Hujan yang tipis ku sobek tergesa.
    Maaf Ra, aku tak bisa kali ini… maaf…!! Aku harus pergi. Entah kapan lagi kita bisa bertemu. Bahkan sekarang hikmu sudah pindah, dan aku tak tahu dimana. Ataukah cukup di bawah tenda biru malam itu percakapan kita?
Satu hal yang bisa ku rumuskan, Ra ; aku telah mencintaimu dengan sangat sederhana. Dengan sebuah perjumpaan yang sangat sederhana, tak perlu banyak syarat sempurna namun sangat syarat makna. Aku belajar tentang mencintai dengan sederhana, mengagumi dari hal yang sederhana , dan cukup sederhana pula untuk menjadi tak nyata. Aku mencintaimu dari apa yang tak pernah ku tahu, dan akhirnya ku temukan pada dirimu, begitulah caraku memujamu. Namun, akhirnya ku putuskan.. sampai disini saja nasib membawaku padamu. Dan tidak akan ku sesali apa yang telah terjadi meski terlalu cepat diakhiri.

***
Dua minggu sudah habis tanpamu, Ra. Bayangmu mampu ku bunuh dengan semua kesibukanku. Namun ketika obrolan di kampus tentang Rendra, hatiku masih berdesir lemas. Dan aku jadi ingat buku yang akan ku pinjamkan padamu saat itu, yang telah ku sisipkan sepucuk surat tentangku padamu. Surat yang ku harap kau balas. Dan baru ku ingat pula, aku kehilangan buku itu!! Entah dimana, apakah tertinggal di bangku tambal ban itu… atau entahlah! Terjatuhkah, basahkah, atau terinjak-injak, hancur, kemudian dibuang bersama sampah-sampah yang busuk!? Seperti aku yang kemudian hancur!
 Walau bagaimana pun, aku sudah tak apa, Ra.. Banyak hal yang ku ikhlaskan. Termasuk kau…
***
Tibalah minggu yang tenang. Bersama secangkir teh hangat buatan ibu dan sarapan koran langganan ayah tiap hari. Tapi Ra, sejak lalu ketika janji kita tak tersampaikan, disetiap koran miggu aku selalu berharap ada puisi untukku darimu, wahai Sasmara Dhahana. Sebagai jawaban surat yang ku sisipkan dalam buku kumpulan sajak Rendra yang hendak kau pinjam, tapi… entah dimana ia sekarang. Tapi aku masih menunggu puisi di surat kabar yang nyaris terhimpit iklan-iklan hiu. Kapan aku mengeja puisimu Ra? Atau kenisbian yang ku dapat sepert sekarang ini?
Sebuah pesan singkat elektronik masuk di telephone selularku
“Ru, nama-mu ada di sajak  remaja di harian lokal. Ada juga yang sudi memakai nama-mu yah? Hahaha.”
-topan-

Harian Joglo Semar, 24 januari 2010.
Sajak Remaja
Padamu, Semeru
 Ru..
adakah yang bisa ku salahkan dari badai akhir tahun?
Maka, katakan Ru. Apa salahnya padamu.
Ketika di bawah tenda biru
 kita menyairkan rembulan yang terlalu cepat hilang.
Bahkan badai jalang  jadi genderang.
Ru, ada ragu padaku
Sebab takut tak mengerti batasku padamu…
Dan sejauh apa tapalku tuk  melaju
Sampai akhirnya ku tahu,
Untuk apa kau pacu kudamu
Hingga bertaruh pada waktu
Dan secarik kertas abu-abu.
Yang terselip di serenada hijau*mu

*) judul puisi W.S. Rendra
SasmaRA Dhahana
                    100110 -Dari Stasiun Purwosari

---- SELESAI ----




cerpen ini pernah menjadi pemenang lomba cerpen tingkat SMA se solo raya oleh FKIP UNS, ketika saya SMA dulu. . ^_^



Keterangan:
*) Sasmara Dhahana: cinta yang menggelora / pernyataan cinta yang sungguh-sungguh. Diambil dari bahasanya kawi.
1) penggalan puisi W. S. Rendra : Serenada Hijau.
2)ikut berteduh
3)silakan..
 4)hujannya tidak kunjung reda.
5) warung nasi bungkus pinggir jalan khas Solo
6) minum apa?
7)danau













*geoLOVEgi*


Tentang sepucuk surat untuk langit yang konon telah bumi tulis berjuta tahun sebelum para geolog menemukan berbagai teori jagad raya....

Dan surat itu ku temukan di bawah jendela kamarku...
Akan ku  bacakan untukmu,
Dalam suratnya, bumi berkata...

“akan ku tuliskan sedikit tentang apa yang ku ketahui, duhai langit.... semoga kau membacanya kali ini. Meski sebenarnya aku juga tabu tentang ini.
Ada sesuatu yang sangat indah seperti aurora yang menari terpantul di atas udara kutub, yaitu cinta. Tak seperti fatamorgana yang udaranya merenggang. Cinta itu akan selalu setia seperti bulan yang selalu berevolusi mengelilingi dunia. Dan tak terpisah seperti phobos dan deimos. Seperti magma yang diam-diam menyusup dalam lapisan vulkan, menetap menjadi sill. Selalu melindungi bagai atmosfer yang memeluk horizon dari sinar uv. Dan tak kan terputus, selalu berputar bagai siklus hidrologi yang tak kan berhenti.
Cinta tak kan seperti drizzle yang tipis lalu habis, namun bagai awan cirrus yang mencerahkan jiwa.
Seperti aliran parerial  yang mengalir sepanjang tahun dan tiada dalam staturation point.  Tak kan selayak daerah karst  yang mudah terkikis.
Cinta tak hanya selama bulan sinodik yang hanya 29½hari atau sepanjang bulan siderik yang hanya 27½hari.
Cinta ini akan menakjubkan bahkan lebih dari konstelasi bintang. Tak mungkin seperti hukum Kepler I yang memiliki titik aphelion dan perihelion yang terkadang jauh, kadang dekat. Dan yang tahu kah kau? cinta ini telah berada pada satu bidang ekliptika tanpa selisih sudut.....” –BUMI—

Dan aku tercengang, betapakah sesungguhnya  jagad raya mampu bersyair dengan bahasa mereka sendiri...
Mungkin kita tak kan menyadari. Mereka sangat puitis....