Minggu, 16 Juni 2013

Apa Kabar Sekolah Inklusi...?

Menelisik kembali tentang sekolah inklusi yang menjadi dengungan dunia pendidikan Indonesia, apakah sekolah inklusi telah menemukan tempatnya dengan nyaman, atau kah masih memerlukan banyak koreksi dari berbagai lapisan? Lapisan yang dimaksudkan 1adalah lapisan sistem, paradigma masyarakat, keturutsertaan masyarakat dalam peran aktifnya, dan tentu tak lepas oleh peran pemerintah sebagai penguat yudisial.

Sebelum lebih jauh mengupasnya, mari kita berkenalan terlebih dahulu dengan apa yang disebut sekolah inklusi. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 menyebutkan bahwa: Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Secara operasional, Watterdal (2005) menjelaskan dalam Kuning (2010) bahwa sebuah pendidikan inklusi adalah merangkul dan menerima keragaman. Tidak hanya mentolerirnya, tapi juga mendorong keingintahuan dan kreativitas. Bukan hanya menyesuaikan atau kompromi , tapi juga menciptakan sebuah semangat kompetisi yang konstruktif . Bukan di antara anak, tapi anak-anak tersebut akan bersaing dengan dirinya sendiri. Secara mudah, sekolah inklusi adalah sebuah sekolah dimana anak berkebutuhan khusus dengan anak normal duduk di suatu kelas yang sama dengan sekolah yang sama, namun tetap ada guru khusus yang menemani anak berkebutuhan khusus ini belajar dikelas jika diperlukan.

Tentu pengertian tentang sekolah inklusi ini memberi semacam pencerah bagi dunia pendidikan anak yang selama ini masih berada dalam lorong panjang tanpa cahaya. Sekolah inklusi memberi jawaban atas banyak doa-doa anak berkebutuhan khusus diluaran sana yang menginginkan sekolah yang sama dengan teman sebayanya. Tidak hanya pendidikan yang mereka dapatkan dari adanya sekolah inklusi, lebih dari itu bahkan kepercayaan diri anak berkebutuhan khusus dapat meningkat bersama dengan dunia pertemanan mereka yang meluas, dan tidak adanya lagi diskriminasi atas hak-hak mereka.

Sekolah inklusi tidak hanya memberi jawaban atas doa mereka, namun menjadi pembelajaran tersendiri bagi siswa biasa yang duduk bersama di bangku sekolah dengan teman berkebutuhan khususnya, mereka diajarkan menerima perbedaan dan akhirnya mereka menganggap semua kawannya adalah sama. Sama dalam arti tidak lagi untuk dibedakan bagaimana dia secara fisik atau mental, karena akhirnya mereka menjadi paham bahwa pertemanan menembus segala keterbatasan bahkan tidak ada lagi kata-kata “aku tidak berteman dengannya, karena aku berbeda dengannya.” Anak-anak akan memahami dunia ini adalah dunia yang berwarna dengan segala rupa, dengan segala isi yang beraneka.

Tulisan diatas terdengar sangat optimis. Ya benar, kita memang harus selalu optimis pada sebuah kebijakan dan sistem yang ada, sikap optimis atas sistem ini tidak akan terlaksana tanpa adanya suatu aksi yang nyata dengan mendukung dan turut serta melaksanakannya. Namun, tidak pantas juga jika kita hanya melihat dengan mata satu yang tertutup, kedua mata memang harus terjaga mengawasi segala bentuk kemungkinan. Maka, patutlah dipertanyakan, apakah kurikulum pendidikan kita telah siap dengan adanya sekolah inklusi? Mengingat bahwa penilaian siswa biasa dengan siswa berkebutuhan khusus itu berbeda pencapaiannya. Selanjutnya, apakah tenaga pendidik mampu memenuhi kebutuhan siswa berkebutuhan khusus dan siswa biasa, melihat bahwa tidak semua guru memiliki rasa untuk membina siswanya, karena selam ini banyak guru yang hanya mengajar tidak mendidik apa lagi membina. Dan yang paling penting, adalah bagaimana cara menanamkan rasa toleransi dan kebersatuan bagi siswa biasa untuk lebih memahami kawannya yang berkebutuhan khusus. Apakah malah dengan adanya kawan yang berkebutuhan khusus ini siswa yang lain menjadi terpecah konsentrasinya? Jika semua pertanyaan ini tidak mampu terjawab dengan tepat, maka sekolah inklusi hanya seperti solusi semu yang kemudian memberi masalah baru di dunia pendidikan.

Hal ini tidak hanya omong kosong belaka, karena di beberapa sekolah yang sempat ditemui, sekolah yang awalnya umum mendadak menjadi sekolah inklusi hanya karena Surat Keputusan, tanpa ditanya kesiapanya. Dari sedikit sisi ini mungkin kita bisa sedikit terbuka, apakah sekolah inklusi memang jawaban yang tepat? Apapun atau bagaimana pun, Indonesia dengan pendidikannya harus tetap optimis! Sebaik apapun retorika dilantunkan, seideal apapun kebijakan diputuskan jika tanpa adanya peran aktif semua tangan masyarakat, maka akan sama saja.

Sakti Mutiara
Dari atas kereta, 080613

Tidak ada komentar:

Posting Komentar