Selasa, 19 November 2013

Fragmen Taman Kota

Selepas hujan, taman kota masih basah. Musim hujan memang baru saja datang. Lampu taman kota memang sudah dinyalakan sedari tadi, meski senja belum habis mengisi langit. Ku pikir memang karena aura langit terlalu kelabu, hingga menyalakan lampu kota bisa sedikit memberi suasana yang lebih terang.
 
Beberapa orang masih berlalu lalang dengan payung yang berembun basah. Nampak anak-anak yang masih riang bermain genangan air hujan. Tak terlalu riuh, namun juga tak terlalu sepi.
Di sebuah sudut yang ku suka, sebuah bangku yang nyaman seakan mempersilakanku untuk selalu mampir dan duduk sejenak. Seperti biasa, selepas mengerjakan rutinitas, aku selalu mampir di sudut itu. untuk sekedar menyimak burung-burung gereja yang bercericit merdu di ranting cemara, atau melihat gelitik tawa anak-anak yang biasa berlarian bermain disekitaran. Suasana sore yang sayang untuk dilewatkan.
 
Sore ini, tak pelak aku tetap ingin mampir karena memang sejalan dengan arah pulang. Di bangku biasa ku duduk, tengah duduk dengan santai seorang lelaki paruh baya. Dia mengenakan baju hangat dan tongkat yang menopang tangan kanannya. Hm.. mau bagaimana lagi, aku duduk disebelahnya. Tersenyum hangat dan kecil saja, seakan berkata : permisi, kek..
Lelaki itu mempersilakan saja aku duduk disebelahnya, seakan merasa lebih nyaman ketika ada yang menemaninya. Sempat terpikir olehku, betapa damainya hidup lelaki paruh baya ini. Kini ia hanya tinggal menikmati hidup dengan tenang dan tanpa berpikir tentang dunia yang melelahkan.
“coba kau lihat disana..” lelaki ini menunjuk suatu arah diseberang taman kota. “lihat pemuda itu, dia nampak sedang resah menanti istrinya. Mereka selalu kesini dihari seperti ini.” Tiba-tiba saja, lelaki paruh baya ini membuka percakapan

 

Aku menuruti saja, ku pikir tak ada salahnya sesekali bercakap dengan seorang lelaki paruh baya yang ku kenal. “bagaimana kakek tau?”
“ya, jelas.. ditiap sore seperti ini, di tanggal ini mereka selalu kesini. Menikmati waktu mereka berdua. Kau tau? Terkadang pemuda itu memberikan istrinya kado-kado kecil yang manis”
“hm...? bagaimana kakek bisa sehafal itu?”
“ya, nampak dari kaca jendela kedai teh itu, aku bisa melihatnya dari sini setiap sore.”
“ohya.. ceritakan padaku kek, apa yang kakek tau tentang pemuda itu.. apakah dia tetangga kakek?”
“oh.. bukan. Ya, tapi aku bisa menceritakannya padamu. Kau mau mendengarnya?”
“oh, tentu! Dengan senang hati.. ”
 
Kemudian kakek itu bercerita tentang pemuda yang ia maksud tadi. “di tanggal ini, di senja hari.. sepasang muda ini akan selalu kesini. Mereka merayakan sesuatu yang manis. Yakni tanggal pernikahannya. Ya.. memang lucu, mereka merayakan itu setiap sebulan sekali, tidak setahun sekali. Dan mengapa ditempat itu, karena sesungguhnya di tempat itu lah mereka mengikat sebuah janji yang tidak ingin mereka ingkari dikemudian hari. Suatu hari pemuda ini membelikan istrinya setangkai bunga mawar, namun sayangnya bunga mawar yang ia beli dengan perjuangan ditengah hujan rontok kelopaknya hingga tersisa beberapa lembar kelopak dan tangkai yang rapuh. Sungguh sedih si pemuda, dia tak memiliki apa-apa lagi untuk ia beri pada istrinya. Namun istrinya, dengan tatapan yang hangat, menyambut bunga itu dengan senyum yang bangga.. seraya berkata, ‘aku dapat melihat betapa kau berjuang menyelamatkan bunga ini, terimakasih banyak.. ini adalah bunga mawar berkelopak tiga lembar yang langka di dunia..hehehe’ kemudian mereka tertawa bersama. kata-kata istrinya itu lah yang selalu membuat pemuda ini jatuh hati setiap hari. Istrinya tak pernah mengeluh atas apa pun. Bukan kah mereka berdua nampak harmonis dan bahagia?”
“uhm... yaa.. sepertinya begitu, kek” aku masih mengikuti alur kakek ini.
“tapi jangan kau kira semacam ritual perayaan sederhana mereka itu berujung damai selalu. Tak pelak.. terkadang masalah pun menimpa mereka. Saat itu sebab si pemuda ini datang terlambat, hampir satu jam si istrinya menunggu hingga bosan dan ingin meninggalkannya saja, padahal istinya menyiapkan es krim, hingga lumer es krim itu sia-sia tanpa bisa dinikmati. Hampir bersungut si istri menunggui pemuda itu.  ternyata pemuda ini memiliki kesibukan di kantor yang tak bisa ditinggal, senja hampir sirna dan si pemuda tak nampak. Kini, istrinya mulai khawatir tak lagi marah.. hingga beberapa saat kemudian si pemuda lari tergopoh-gopoh menghampiri istrinya yang mukanya merah padam dengan keringat dingin sebab khawatir. Sekahwatir apapun si istri, akhirnya ia lega melihat suami yang dicintainya berada di depannya. Namun dia tetap hanya seorang wanita, dia tetap marah sambil menunjukkan semangkuk es krim dalam kemasan yang mencair. Tanpa berkata-kata, si istri pergi meninggalkan si pemuda keluar dari kedai. Si pemuda yang lelah bekerja pun juga ikut naik pitam, dan berkata ‘jika kau pulang sekarang dan meninggalkan suamimu disini, maka berarti kau telah membuatnya marah! Kau harus paham betapa lelahnya aku... dan sang istri berbalik, dengan airmata yang bercucuran... seraya berkata ‘jika aku mau meninggalkan suamiku disini, sudah sejak tadi aku pergi. Aku hanya khawatir padamu..’ sesenggukan dia mengucurkan air matanya sambil 
menghampiri suaminya”
 


Aku yang mendengar cerita itu hanya diam, mencerna semua yang kakek itu ceritakan. Aku sudah sejak tadi ketika mendengarkan ceritanya, ingin berbicara. Namun tak enak memotong. Kini, saat kakek itu terdiam menatap lurus ke arah yang ia tunjuk tadi, aku mulai membuka suara..
“kek, tapi disini tidak ada pemuda itu.. bahkan yang kakek tunjuk tadi adalah bangunan kosong, entahlah aku tak tahu apa dulunya...”
“benarkah? Kau tak bisa melihat mereka berdua sekarang sedang duduk bersama berhadapan di pinggir jendela sambil berbincang dan menikmati teh?”
 
Aku mulai merasa ada yang salah... “tidak kek, tidak ada apa-apa dan siapa-siapa disana..”
Kakek itu nampak tak percaya...
Sejenak aku berpikir, dan yakin bahwa hal ini bukan tentang mistis...
mungkinkah pemuda yang diceritakan itu adalah. . .

Senin, 18 November 2013

Sabtu, 05 Oktober 2013

Sedikit Buah Tangan Dari Majlis Ilmu: Manajemen Keluarga ^_^


Ketika mendengar kata keluarga, apa yang terbayang dalam benak kita? Jika saya, saya akan terbayang rumah kecil saya yang berisi empat orang yang sedang mengobrol bersama ditemani cangkir-cangkir teh hangat. Sebuah pemandangan yang indah dan selalu membuat rindu. Dalam lingkaran kecil itu lah manusia tumbuh dan berkembang. Beranjak dari sanalah manusia mulai menapaki luasnya dunia. Jika kemudian meneropong lebih dalam, siapa kah yang sangat berperan dalam lingkaran itu? ya, meski semua berperan secara timbal balik, namun orang tualah yang menjadi poros dari berkembangnya sebuah keluarga. Bisa dikatakan peran orang tua di dalamnya sangat penting. Sebagi teladan, sebagai pusat mendidik anak, segalanya.

Mudah kah menjadi orang tua? Entahlah. Saya pun belum pernah merasakan menjadi orangtua. Namun, ketika akhirnya banyak menelaah apa saja yang sudah dilakukan orang tua kita terhadap kita, jelas jawabannya, menjadi orang tua tidaklah mudah. Tidak bisa dilakukan dengan asal, atau bahkan tanpa perencanaan sama sekali. Butuh perencanaan, bahkan sebelum benar-benar ada status berkeluarga. Mengapa demikian? Lagi-lagi karena keluarga adalah pijakan awal seorang individu. Dari mana pijakan itu dibangun? Pijakan itu dibangun oleh orang tua. Ingat, orang tua.. bukan hanya ibu saja atau ayah saja, harus ada kerja sama. Subhanallah. . . mungkin itu pula lah alasan Allah menciptakan manusia berpasangan, karena di setiapnya memiliki sesuatu untuk saling mengisi dan melengkapi, beriring berjalan bersama menuju suatu misi besar!

Sebab menyadari bahwa pentingnya peran orang tua dalam keluarga, maka tergeraklah saya menghadiri seminar ini. Seminar ini bertajuk “Seminar Manajemen Keluarga”. Terdengar sangat luar biasa bagi saya yang memang sangat tertarik dengan isue anak, parenting, dan keluarga. Kesannya seminar ini cukup penting, maka dari itulah saya ingin saudara yang tidak berkesempatan hadir tetap bisa mencicipi materinya. InsyaAllah, saya akan mencoba menghaturkan pada saudara agar kebermanfaatan ini dapat mengalir, meski nanti akan saya sampaikan secara berjenjang, sebab –subhanallah.. materinya banyak dan menarik!

Baik, bismillah.. kita mulai. Sesi pertama, adalah sesi yang penting dan langsung dapat terbayangkan secara riil. Yaitu tentang manajemen keuangan keluarga, yang disampaikan oleh Prof sekaligus Ust Muhammad. Tulisan ini saya racik sendiri, meski bersumber dari materi yang beliau bagikan. Subhanallah.. saya sebagai wanita (dan teman-teman yang lain), seharusnya sadar bahwa perencanaan, pengelolaan dan pengontrol finansial menjadi salah satu tanggung jawab wanita, selaku seorang istri dan ibu dari anak-anak. seorang suami atau ayah, berkewajiban mencarikan maisyah sebagai nafkah bagi anak dan istrinya. Disinilah akhirnya kita melihat salah satu pembagian peran yang Rasul contohkan pada kita. Dikatakan bahwa salah satu peran istri adalah menjaga harta suaminya, subhanallah.. Ini bukanlah amanah yang main-main, karena jelas tidak dipungkiri bahwa finansial merupakan hal yang harus diperhatikan agar keharmonisan keluarga dapat terjaga. Di luaran sana, telah kita lihat betapa banyaknya keluarga yang terpecah hanya karena keuangan yang tidak sesuai harapan, atau lebih karena tidak mampu memenuhi keinginan. Bukan tidak mungkin juga bahwa korupsi merambak karena tuntutan keinginan yang melonjak, sementara bisa jadi istrinya lah yang tidak mampu mengelola keuangan dengan baik. Astaghfirullah.. jangan sampai keluarga malah menjadi sarana keburukan yang menjerumuskan pada api neraka. Sebaliknya, seharusnya seorang istri mampu mengingatkan suaminya dengan berkata : “sungguh kami masih bisa bertahan di atas kelaparan, namun sungguh kami tidak akan mampu bertahan di atas api neraka.” Gamblangnya, lebih baik kelaparan dari pada bermewah-mewah dari harta yang tidak halal. Jadilah kita sebaik-baik pengingat bagi yang lain (suami, istri atau anak-anak).


*sedikit penggerak dulu, yaa.. akan kita lanjutkan, insyaAllah..karena jika terlalu panjang saya yakin tidak terbaca dengan nyaman ^_^
**sampai jumpa kembal

Jumat, 04 Oktober 2013

kata ibu : biarkan saja..


jika toh memang mereka menganggap kita salah atas apa yang telah kita pilih, memang kenapa?
-akhirnya aku bisa beranggapan demikian. setelah sekian lama bergumul pada semua perasaan yang tertimbun dalam dan menggumpal.-

telah banyak yang mencoba membuat kita terperanjat kaget, terpelanting jatuh, meloncat sangat tinggi..
dan ku katakan padamu, jika kita menyerah ditengah jalan.. betapa kah kita harus melihat kembali halang rintang yang menyertai dalam perjalanan ini. keteguhan utk tetap memegang komitmen mungkin memang harus mengalami perjalanan yang penuh tantangan. betapa kah Allah menyayangi kita dengan berbagai hadiahnya yang selalu datang tiba-tiba.

terkadang tak banyak yang bisa kita sampaikan pada mereka yang mencoba mematahkan segala rangakian kisah ini. memang benar, kita hanya bisa menunjukkan dengan sikap. meski aku memiliki prasangka yang tak pantas, bahwa apapun yang akan kita lakukan nanti akan tetap salah di hadapan mereka. ya! dihadapan mereka, bukan di hadapan Allah. bagaimana pandangan Allah, apakah yang mereka gunakan adalah perspektif yang sama dengan perspektif Tuhan mereka? ku yakin, mereka tidak pernah mungkin mampu menyamai cara pandang Tuhan mereka dalam menilai hambaNYA.

benar, tak lagi saatnya kita bersusah payah meminta hati mereka untuk membiarkan kita berjalan dengan tenang. mereka bukan sesiapa, yang mampu begitu saja mematahkan arang. kita harus mampu membuat Allah "melihat" kita dengan penuh kasih sayang. bahwa Dia lah pemilik segalanya. memperbaiki dalam niat dan mengamalkan dalam setiap laku adalah yang paling baik untuk membuat Allah "melihat" kita. memintalah kita pada Tuhan kita, yang memang Pemilik Segala.

jika memang jalan ini adalah jalan yang Dia berikan.. pasti ada hikmah diselepasnya. entah dengan apa pun caranya. Dia lah yang paling baik mengenal hati hambaNYA.

: ku serahkan padaMU, Allah.. karena ku yakin tempat berawal dan kembaliku ada ditanganMU, bukan pada sesiapa yang tak memahami apa-apa.
luruskan hati kami.. dan teguhkanlah kami pada jalan yang benar di mataMU, maka jadikan hati dan mata ini bening melihat kebenaran.
jangan biarkan kami melepas satu sama lain..



Minggu, 15 September 2013

Hati yang Dewasa

bukan sebab aku tak bisa menerima penatian atau tak ikhlas melepaskan,
bukan..
segalanya telah ku percayakan..
yang awalnya terasa seperti lautan yang terus bergejolak tak menentu, kini hati ku mulai merambah dewasa.
dan beruntunglah kamu, yang hadir ketika hatiku cukup tangguh menerima semuanya.
dan setelah semua pesan-pesan kisah masa lalu yang terus ku ingat, bahwa memegang terlalu erat tak selamanya mampu membuatnya tak berjarak.
aku mulai mampu meredam semuanya, jauh sebelum tulisan ini ku rangkai.
tak lagi mudah terombang-ambing oleh angin yang tak tentu arah.
dan sungguh, baru kali inilah perasaan yang begitu dewasa terlahir dari relung.
tak mungkin tanpa campur tanganNya.
pasti, ini semua juga karenaNya..
sebab selalu ku turutkan Ia dalam setapak demi setapak perjalanan rasa ini.


: terimakasih, hati.. kini aku memiliki kedewasaanmu.. hingga manusia disana tak harus terlalu tersiksa karena kekerdilan perasaanku.

Senin, 09 September 2013

Larung

pada sebuah perahu kertas, sepertinya ku letakkan saja ia disana.. terlarung pada sebuah sungai. menyerahkan pada Sang Pemilik Keputusan, untuk membawanya kemana.. pada hilir yang mana, dan dengan cara apa..
ku percayakan saja padaNya..
meletakkannya dengan tenang disana, berharap tak sobek ditengah perjalanan.


Sabtu, 07 September 2013

Sabtu, 31 Agustus 2013

"Pesan yang Dititipkan"



Sebab sebuah keterbatasan, maka ritual berkabar menjadi sangat berkurang. Dan memang dikurangi. Bukan karena ingin saling menjauhi, tapi pada karena kecintaan pada Sang Maha Kasih, hingga harus berjalan pada jalan yang berbatasan dan dibatasi.
 

Ritual berkabar, ternyata terbukti sudah, bahwa sebuah kabar tak harus disampaikan dengan sesuatu yang terlalu nampak.
 

Pejamkan mata. Berbisiklah dalam hati. Dan percayakan padaNYA untuk menyampaikan sebuah gelombang dalam hati pada hati yang lain. Betapa akan terlihat, sebuah ketulusan akan mampu menembus apa pun. Jarak, sarana, waktu, bahkan logika. Karena dalam ketulusan itulah Dia menurutkan keajaibannya.
 

Berisyaratlah, dan terbukalah pada tiap isyarat. Dia akan mengatur segalanya..

Kamis, 29 Agustus 2013

banyak yang tak bisa dikatakan,
dan aku membiarkanmu menilaiku dari apa yang nampak saja..
cukup tahu dan pahami..
mungkin terlihat seperti seorang yang terlalu rapuh,
atau terlalu kuat.
nilailah aku dari apa yang kau lihat
karena aku tak punya bahasa untuk mengungkapkannya

Pertanyaan yang Belum Terjawab

Di suatu siang setelah tangisan sehari lalu yang kesekian, seorang teman tiba-tiba datang..

“Ya’, aku mau tanya.. kadang aku mikir. Bagi orang yang belum pernah merasakan ice cream, dia gak akan tau betapa enaknya ice cream, tapi bagi orang yang sudah tau rasanya dan ketika dia disuruh tidak makan ice cream lagi pasti sulit kan? Karena ice cream itu bisa bikin gigimu bolong, makanya kamu gk boleh makan ice cream lagi. Orang yang belum pernah tau gimana enaknya ice cream pasti kalo diminta tidak makan ice cream, pasti gak susah kan.? Dan aku sekarang sedang sangat pingin makan ice cream lagi. Gimana ya Ya’, biar gak kepingin ice cream lagi? Kamu paham maksudku kan?”

Dan aku yang ditanyai hanya diam dan tersenyum.. menjawab sederhana, “Iya, paham banget. Karena aku suka ice cream dan tidak boleh makan ithu lagi.”

Kawanku ini, memang tidak seorang yang sangat dekat. Bahkan tak banyak yang tahu bahwa kami beberapa kali ngobrol bersama dan membicarakan hal-hal yang serius –tentang hati dan pandangan hidup. Dan aku selalu yang menjadi subjeknya bertanya banyak hal. Entah mengapa. Dan pertanyaanya siang itu, seakan membahasakan apa yang tidak bisa ku katakan pada siapa pun. Dia seperti membaca hatiku, namun padahal dia sedang bertanya pendapatku.

Kenapa tiba-tiba dia datang dan bercerita, lalu meminta pendapatku. Sempat terpikir untuk memberinya beberapa saran yang sedang ku tancapkan dalam hati juga untuk “mengurangi” makan ice cream. Tapi, ku urungkan, sebab aku juga sedang membiasakan diri untuk itu, jadi apa gunanya ku katakan pada kawanku ini.

Heran, dari sekian banyak benda yang bisa dikiaskan pada ceritanya, mengapa harus ice cream? Sepertinya... Allah.. hm, entahlah.

Pembicaraan kami berhenti, dan aku yang mengakhiri. Karena tempat dan kondisi yang tidak memungkinkan untuk berbagi cerita, terlalu ramai. Hm.. semoga ia tak menanyakannya lagi, selama aku juga mencari jawabanku sendiri.
Allah, mohon ampuni kami....



thank you for asking me, Tif..

Sabtu, 24 Agustus 2013

Setangkup Kue Bahagia


Hanya setangkup kue kecil berwarna coklat, dengan hiasan coklat putih dan krim gula yang berwarna indah. Bersama sebatang lilin yang telah membagi dirinya menjadi pendar yang anggun. Langit 15 juli yang tenang, angin yang berhembus dengan lembut menyelisik sulur-suur markisa. Dalam tangkupan itu ku bawa serta segala doa untuknya, tepat dalam hari kedewasaanmu. Tak terlalu binar seperti yang direncakan kebanyakan orang-orang, bertabur lampu dan hingar suara musik yang memenuhi ruangan. Cukup bagiku, nyala lilin dan langit berbintang yang menjadi hiasan. Serta gemerisik angin yang berlalu sebagai pengiring sabda alam.

Tidak kah dia tahu bahwa dalam tiap hitungan langkahnya mendekati setangkup kue ku, aku memandangi hatinya yang terus bermunajat. Menghitung jejaknya seperti menghitung debar yang nyaman. Bersama seringai senyuman yang hangat dan tetesan air mata yang tak nampak, ku ulurkan setangkup sederhana itu. Dan tiupannya membuat lilin itu berhenti membakar diri. Apa dikata, aku tak tahu apa yang ada dalam hatinya. Cukup bagiku melihat senyumnya yang kian dewasa, seperti aku percaya langkahnya akan semakin tegap dan matang menapaki jalan-jalan perbaikan.

: Selamat atas tertiupnya lilin bahagiamu. .
Bukan sebagai pertanda gelap, namun pertanda kau siap menyalakan yang baru dan lebih baik nantinya.. ^_^

~you

God... how could this man always make me cry and smile at the same time?
so, i do know how this felling goes to be
to be something that might be You -God always on our way
keep holding us, just like you made Adam and Hawa find out each other in the right way

Jumat, 23 Agustus 2013

when was the all words gone? i think i'm running out my tears.. and broke all words down of mine. i'm sorry, for being so weak.. i just wanna make my one last cry.

Kamis, 22 Agustus 2013

Hanya 30%

Bertahun lalu, ketika banyak belajar tentang apa itu menulis dan bagaimana.. seorang penulis senior berkata bahwa penulis profesional adalah penulis yang tidak lagi menulis tentang isi hatinya. Maksudnya adalah dia tidak selalu menjadikan tulisannya sebagai media menguras hati, bahkan tidak lagi hanya sekedar mencurahkan tapi menguras. Misalnya, ketika seorang merasa kehilangan, penulis yang dianggap profesional akan menuliskan sesuatu yang menggembirakan, bisa tulisan tentang kemeriahan perayaan atau suasana hingar bingar, bukan tentang sedu sedan.
 
Dan sejauh ini, jika takaran profesional adalah demikian maka tingkat keprofesionalan saya hanya sekitar 30% dan sisanya, saya masih menurutkan isi hati.
 
Hm. . tidak mudah memang menghasilkan sesuatu yang harus benar-benar keluar dari lingkaran egoisme hati. Wajar, sebab menulis adalah ekspresi diri. Namun akhirnya, memang tidak menjadi produktif, karena selama suasana perasaan kita tentang suatu hal maka sepanjang itu pula tulisan-tulisan kita akan “terjajah” oleh rasa pribadi yang terlalu egois.
 
Baiklah, mari dicoba! Kita tidak hanya menggunakan imajinasi hati dalam menulis tapi juga imajinasi pikiran yang berjalan.
 
Menulis keluar dari suasana hati.. dan cobalah memasuki suasana hati oranglain ketika menuliskannya.

Ini adalah salah satu puisi yang saya benar-benar “keluar” dari suasana hati dan murni menggunakan imajinasi, mencoba merasakan menjadi orang lain. Menjadi tokoh dari kehidupan orang lain dalam puisi. Dan jika sudah begitu, biasanya yang muncul dalam tokoh saya adalah seorang laki-laki. Mengapa? Entah, saya juga tidak tahu.
 
TAMU UNDANGAN

Malam itu,
Purnama sungkan padamu.
Lapis-lapis gaunmu mencemburuinya
Semua sinar meresap ketika kau lewat.
Beberapa terpantul,
Beberapa kau simpan.

Serumpun kembang
 akrab dalam genggaman,
Bunga yang ibumu belikan untukmu tadi siang.
Dalam arahmu, ada yang menanti
Seakan bertanya,
 kapan kau sampai disini?

Kaki menapak, menghitung
Satu-satu jejak yang akan kau jumpa
Punggung yang anggun, meghitung
Satu-satu jejak yang kau tinggalkan.
Mata yang penuh binar dan kaca,
Menatap lurus padanya
Seakan berkata
Aku datang…
    Dan aku, menikmatimu dari belakang
    Hanya menyimpan semua bayang
 yang semakin hilang
akhirnya, aku hanya jadi tamu undangan


bahkan padanya, ia tak pernah bisa jatuh dengan mudah. memilih saatnya sendiri untuk meluruh diri. dia paham bahwa sang empunya mata ingin selalu terlihat baik-baik saja.
: menangislah, tapi dengan bijak


SI KECIL DAN SETANGKUP SARANG BURUNG




Lagi-lagi si kecil yang senang berpetualag, kembali melakoni petualangan kecilnya. Kini dia tak lagi mengajak sepeda mini roda tiganya. Kini kaki si kecil mulai panjang dan dia sudah cukup berani untuk naik sepeda yang lebih tinggi dan beroda empat –ya, dengan sepasang roda bantu di sisi kanan dan kirinya. Bagaimana suara sepedanya? Jangan ditanya, berisik bukan kepalang. Ketika si kecil dengan sepedanya yang berwarna putih melintas di gang rumahnya suara roda bantunya yang tergesek aspal yang tidak rata itu bisa-bisa membangunkan anak tetangga yang tengah tidur siang, dan mereka sudah tahu pasti bahwa itu adalah suara sepeda si kecil. Si kecil tak peduli, dia terlalu senang bermain dengan sepedanya itu, bermain dengan angin yang terus menyepuh anak rambut dan poninya.

Kali ini, kemana si kecil mengayuhkan sepeda putihnnya? Satu tempat yang paling si kecil sukai sejak dulu. Adalah sawah yang berada di sebelah perumahan tempat si kecil tinggal. Sawah yang riuh, oleh gemerisik angin yang menyapa daun-daun padi, belum lagi suara cericit burung gereja yang menghampiri padi-padi yang merunduk, kemudian suara gemericing lonceng kecil milik pak tani untuk mengusir burung-burung itu, dan jika dia beruntung, si kecil akan bertemu dengan sekawanan bebek yang sedang digiring oleh pak peternak. Si kecil senang sekali duduk di tepi sawah itu, menikmati banyak hal yang bisa dia lihat dan merasakan angin yang menari-nari seakan ingin mengajaknya terbang.
Setelah beberapa lama, si kecil melanjutkan perjalananya. Kali ini si kecil memilih pulang saja, tapi dia memilih jalan memutar sebelum sampai ke rumahnya. Perlahan, sambil menikmati panas matahari si kecil mengayuh sepedanya yang berisik itu. Wah, lihat! di tengah-tengah jalan yang sepi itu si kecil menemukan sesuatu. Si kecil terlihat penasaran dan mulai mendekati sesuatu itu. sesuatu itu seperti jerami yang terpilin membentuk sekumparan benda melingkar, tidak terlalu rapi memang. 

Sekumpulan jerami dan daun-daun kering itu berbentuk seperti mangkuk yang tengahnya terbentuk cekungan. Si kecil yang makin penasaran mengambil benda tersebut, merekahkan cekungan itu sedikit. Dan, Hei! Dia ternyata menemukan sarang burung. Dan yang membuat si kecil makin girang adalah tidak hanya sarang burung, tapi juga ada tiga ekor anak burung yang mencericit lemah. 

Dilihatnya lagi, nampak sebutir telur burung yang sudah pecah terburai di sarang itu.
Selama ini si kecil tak pernah melihat sarang burung sedekat ini, bahkan sekarang dia dapat menyentuh sarang burung di setangkup tangan mungilnya. Ini seperti harta karun yang megah bagi si kecil. Merasa senang sekaligus iba, si kecil membawa sarang burung itu pulang. Dia taruh sarang burung itu di keranjang sepeda putihnya. Wajahnya berseri bukan kepalang! Sambil menyanyi riang si kecil mengayuh sepedanya pulang, tak sabar ia memamerkan apa yang ia temukan pada ibunya.

Kini si kecil sampai rumah, tak sabar langsung dia membawa setangkup sarang burung itu pada ibunya. “bu! Lihat apa yang adik bawa.!!!” Teriak si kecil sambil berlari menuju ibunya di dapur. Ibunya kaget, mendengar  teriakan si kecil yang riang. “apa, dik?” tanya ibu heran. “tarraa..! sarang burung dan ada bayi burungnya!! Hahaha”. Jawab si kecil riang. “kasihan bu, dia gak punya mama, egak tau kemana mamanya. Tadi sarang burungnya ada di tengah jalan. Adik kasihan, nanti bayi burungnya mati gak punya maem. Adik kasih maem ya, bu..? adik minta uang, mau beli bubur bayi. Kan dia masih bayi, jadi pasti maemnya bubur bayi..”. ungkap si kecil mengemukakan idenya. Si ibu tertawa, “dik, nanti kalo sarangnya dibawa adik, ibunya nyari.. kasihan. Dikembalikan aja ya?”. Langsung si kecil menolak, “egak mau, bu.. gak bisa dikembaliin, pohonya tinggi kok, adik gak bisa. hehe”. Akhirnya ibu mengalah, dengan memberi si kecil uang untuk pergi ke warung membeli bubur bayi. “dik, tapi sebenernya burung makanya cacing, egak makan bubur..”. si kecil berpendapat lagi, “kan mereka masih kecil bu, nanti keselek kalau maem cacing, kan gak bisa ngunyah..”

Ibu paham betul bagaimana si kecil yang sangat penyayang. Akhirnya ibu membiarkan saja si kecil dengan idenya itu. Sesampainya, si kecil mengajak kakaknya yang baru pulang sekolah menyuapi anak-anak burung itu dengan bubur bayi. Dengan cericit yang riuh, anak-anak burung itu menyambut satu persatu suapan bubur bayi si kecil dengan kakaknya. Namun, sedihnya setelah sekian suapan, paruh anak-anak burung itu tidak bisa terbuka. Kenapa? Karena paruh mereka lengket dengan bubur bayi yang diberikan. Hm.. si kecil bingung. Sesaat kemudian, semut-semut yang mulai mencium aroma manis bubur bayi dari sarang burung itu berdatangan. Cericit anak-anak burung yang terbungkam, tertahan lirih.

Sorenya, setelah bangun tidur siang, si kecil menengok lagi sarang burungnya. Sedih nian hati si kecil, ketika menemui anak-anak burung yang kecil itu lemah terkulai tak berdaya dan tak lagi bernafas dan dikerubuti semut-semut. Si kecil, sedih... dan berbisik pada anak-anak burung itu, “maaf ya burung...” wajahnya muram seperti mendung di langit yang kelabu.

Sabtu, 17 Agustus 2013

Si Kecil dan Kakek Kesayangan

Bagi si kecil, bunga yang dia petik dari perjalananya bersepeda adalah sesuatu yang paling indah. Sekarang, ketika si kecil tak lagi kecil, dia mulai mengerti bahwa bukan hanya bunganya yang membuatnya bahagia, namun teman masa kecilnya yang selalu sabar menemaninya melakukan penjelajahan sederhana dengan sepeda mungil dan mencari berbagai macam bunga.
Si kecil, berbicara tentangnya sama halnya ketika berbicara tentang anak perempuan kecil. Berponi, berkucir dua, senang pakai sepatu dan topi taman, dan sangat suka mencari bunga. Seperti kebanyakan anak kecil, dia juga susah makan. Bukan tidak mau makan, tapi makannya lama nian, bukan lagi hitungan menit tapi jam. Ibu si kecil adalah seorang guru, ayahnya juga bekerja, kakaknya sekolah, jadilah si kecil selalu diantar di rumah kakeknya dan siangnya akan dijemput untuk pulang ke rumahnya sendiri. Karena sungguh lamanya si kecil makan, ketika ibu si kecil tidak selesai menyuapinya, kakeknya lah yang turun tangan. Apa yang dirasakan si kecil? Sungguh bahagia! 

Disamping dia memang suka disuapi, terlebih jika bersama kakeknya. Kakeknya akan mengajaknya berpetualang dengan sepeda mini si kecil, berkeliling sembari menyuapi si kecil. Dengan sangat sabar dan selalu dengan wajah yang menyenangkan kakeknya menuruti kemana si kecil menggenjot sepeda mininya. Si kecil akan sangat siap, dia akan mengenakan sepatu dan topi taman yang berenda dengan motif bunga-bunga kecil. “Ayo kakek! Kita sepedaan...!!” dengan senyum yang lebar, karena dia tahu bahwa dengan berpetualang itu makan tak lagi menjadi peristiwa yang membosankan. Kakeknya dengan celana olahraga, bertopi, dan pasti membawa sarapan si kecil dan botol minum itu pun juga berseringai damai, “ayo..!!”
Keranjang sepeda mini si kecil yang tadinya kosong, sesaat kemudian akan penuh dengan berbagai macam warna bunga. Dari bunga rumput yang banyak dilupakan orang, sampai bunga yang indah menawan, semua ada di keranjang sepeda mini si kecil. Yah, walaupun sepertinya memang makan si kecil tidak menjadi cepat, tapi paling tidak, makan menjadi hal yang menyenangkan bagi si kecil.
Seringnya, bunga yang si kecil inginkan adalah bunga yang tak bisa terjangkau tangannya, jadilah  kakeknya yang memetik untuknya. Dengan penuh kesabaran dan wajah yang damai. Saat itu, si kecil tak paham apa kah kakeknya sudah lelah atau tidak, yang dia tau wajah kakeknya selalu tersenyum dan penuh sabar menyuapinya satu persatu. Barulah ketika sarapan sudah habis walau habisnya sarapan pun juga sudah menjelang siang, mereka pulang. Dan tentu dengan keranjang sepeda yang penuh dengan bunga. Si kecil sangat merasa senang dan puas! Bunga-bunga yang banyak itu biasanya akan dia berikan kepada neneknya, dengan seringai polos senyuman puas. Dengan sangat senang neneknya akan menerima bunga itu. Yang lebih puas lagi, akhirnya sarapan si kecil tandas sudah. Nanti, ketika ibu si kecil menjemput, si kecil akan bercerita perjalanannya bersama kakek dengan kata yang belum runtut dan penuh semangat, tak berhenti-berhenti hingga terkadang masih ia teruskan di atas sepeda motor menuju pulang ke rumah.
Kisah si kecil dengan kakeknya yang penuh warna, sama seperti warna bunga-bunga yang ada di keranjang sepeda si kecil, beraneka rupa cerita. Kini, si kecil yang telah dewasa memahami, betapa lelahnya kakek saat itu, menuruti genjotan mungil sepeda mini si kecil berkeliling, belum lagi panas yang tentu menimpa kulit kakek. Kini, ia mampu mengartikan segala senyum dan wajah damai sang kakek. Suatu kenangan yang luar biasa dalam. Dan semakin terasa terukir dalam ketika senyum sang kakek tak lagi bisa dia jumpai selamanya, tak lagi bisa dia ajak bersepeda bersama sambil mencari bunga..
Dia akhirnya paham, bahwa perjalanan itu menyenangkan bukan hanya karena bunga yang dia petik, tapi karena kakek yang menjadi sahabat perjalanannya.



DIA yang Maha Menghindarkan

Kisah ini mungkin biasa saja, namun bisa juga menarik. Dan tak pernah ada paksaan untuk sebuah penilaian, setidaknya begitu yang ku berlakukan dalam duniaku, setiap hati berhak menilai sesuka hati mereka membatinnya.
Ini adalah kisah sederhana, namun dari sana ditemukanlah sebuah cara Allah menjaga dua insan.
 
Suatu saat sebutlah seorang perempuan dan lelaki yang memiliki keterikatan hati pergi bersama. Tanpa rencana, setidaknya bagi salah satu pihak, sebab ajakan itu mendadak dan ya sudah, akhirnya mereka pergi. Tidak.. bukan sesuatu yang istimewa, seperti ajakan makan mendadak dengan tiba-tiba ada lilin penghias di meja. Jadi si lelaki baik hati ini hendak memberi adik perempuannya sebuah baju, dia ajaklah si perempuan pergi ke toko baju dan meminta memilihkannya baju untuk adiknya. Apa kah ini istimewa? Bagi mereka istimewa, namun sesungguhnya dalam hati si perempuan ada kegundahan. Mereka sempat berjanji untuk tidak pergi berdua saja, harus ada orang ketiga. Apa kah ini istimewa? Ku katakan, janji itu sangat istimewa. Tidak semua orang berani dengan janji itu.
 
Sebab si perempuan tidak terlalu berpikir rumit, dan dia berpikir: kami tidak duduk berdua, berhadapan dan berlama-lama, di toko baju yang ramai dan pasti sibuk memilih. Singkatnya, si perempuan menyanggupi dengan sekelumit doa : Allah, lindungi kami dari godaan setan, apa yang kami inginkan adalah keridhoan di SisiMu, sebab aku memilih dan memulai bersamanya atas namaMU.
Sampailah mereka ke sebuah toko baju yang ramai dan sudah bisa di pastikan didominasi kaum Hawa. Ya.. akhirnya mereka memilih-milih baju, dan sebagainya. Uhm.. tentang apa yang ada diperasaan masing-masing? Suatu saat akan diungkap, namun tidak pada tulisan ini, sebab bukan itu fokusnya.
 
Hingga suatu ketika, bertemulah si lelaki dengan kawan perempuan mereka berdua. Lalu kemudian, si perempuan melihatnya, dan hei! Kita bertemu disini. si kawan perempuan itu menganggap lucu, bagaimana bisa mereka bertemu di keadaan seperti ini! Ini sangat ajaib, apalagi melihat si lelaki kemudian dalam setangkapan mata bertemu dengan si perempuan, dengan mengingat kisah yang ada diantara sepasang kawannya “dulu” itu, sebab ia tak tahu apakah masih berkisah atau tidak. Jadilah mereka bertiga. Dan sungguh, si kawan perempuan ini tak menyadari bahwa memang sesungguhnya sepasang kawannya itu memang berangkat bersama. Disinilah si perempuan tadi tersadar: Allah, sungguh Engkau Maha Pelindung, bahkan Kau masih menghindarkan kami dari fitnah, bahkan Engkau tak rela membiarkan kami melanggar janji kami sendiri, hingga Kau kirim bagi kami pihak ketiga.
 
Tak lama, ketika si kawan perempuan menuju sudut yang lain, dan tinggallah si perempuan dan si lelaki masih berdiskusi memilih baju, muncullah kawan perempuan yang lain. Dia sangat tertegun, tak percaya dia melihat sepasang ini berada didepan matanya memilih baju yang sama. Tak canggung, si perempuan menghampiri kawan perempuannya yang baru saja melihat mereka ini. Dan memastikan bahwa mereka tak hanya berdua, ada kawannya yang lain yang dia kenal dan memang tidak sengaja bertemu disana. Ya, si perempuan memang tidak berbohong, hanya ada yang tidak dia katakan. Apa itu salah? Entah, yang jelas dia teringat bahwa sesungguhnya Allah telah menutupi “aib” makhlukNYA, dan mereka lah yang dengan sengaja membukanya. Maka, si perempuan pun berpikir, ini bukan pembohongan bahkan Allah pun turut tangan dalam pertemuan ini.
Hm. . Allah Maha Rencana,
 
Bagaimana jika si lelaki dan si perempuan tidak bertemu dengan kawan pertamanya dahulu? Bahkan pertemuan dengan keduanya itu dibuat di waktu yang tidak sama dan di sudut yang agak berbeda, hingga memang terlihat seperti bertemu secara tak sengaja dan terkesan berangkat sendiri-sendiri. 
Lain dengan ketika bertemu dengan kawannya yang kedua, dia berada di tempat yang sama dengan waktu yang bersamaan. Namun, amannya si perempuan bisa menunjukkan kawannya yang pertama sebagai “penguat” mereka tak hanya berdua.. itulah mungkin alasan Allah mempertemukan mereka dengan urutan yang demikian. Tidak ada yang tidak sengaja.
Allah... Berbicara tentang rencanaNYA, bahkan kita tak sanggup. Sungguh ketidaksangkaan yang ada.
 
Dalam kisah ini, terlihat jelas bagaimana sesungguhnya Allah melindungi umatNYA dari sesuatu yang merugikan umatnya. Bukan dengan membenarkan sepasang itu pergi berdua, bahkan lebih dari itu Allah tidak ingin setan menjadi pelengkap “kebahagian” umatnya yang sedang merasakan Fitrah manusia. Malah Allah dengan baik hatinya mengirimkan pihak ketiga untuk melindungi keberduaan sepasang itu dan menghindarkan mereka dari fitnah pihak ke empat, yang bisa salah tafsir ketika melihat sepasang itu bersama.
 
Sungguh Indah. .
Allah mengajarkan, jangan pernah mengingkari janji baikmu sendiri. Mungkin kali ini Ia “melindungi” namun entah bagaimana pelajaran di saat yang lain ketika mereka mengingkari janji mereka untuk ke dua kali.
: Berjalanlah kita dengan perlahan dan hati-hati, yang terpenting adalah terus berjalan dengan lurus dan istiqomah terhadapnya.

Jumat, 16 Agustus 2013

ES KRIM



Suatu hari, aku melihat anak kecil merengek ingin segera mendapatkan es krimnya. Dia merasa telah menunggu sangat lama untuk mendapatkan manis es krimnya,
Dan aku dalam hati, berkata : nak, suatu saat ketika kau beranjak dewasa ketika kau menginginkan “es krim” kau harus menunggunya begitu lama, bahkan bertahunan. Penantian itu akan terasa sulit memang. Namun, ketika nanti kau telah mendapatkan “es krim” itu dalam genggamanmu kau akan merasa sangat bahagia dan merasa penantianmu adalah hal yang memang patut dilakukan untuk mendapat “es krim” termanis yang kau inginkan.. maka, bersyukur dan bersabarlah.

Kamis, 15 Agustus 2013

Hulu Kenangan Bermuasal

Atas nama Kenangan dalam dua lembar kertas..

Dalam masa mendatang, kita tak pernah tahu apa yang akan Dia rencanakan. Sungguh sama, ketika kita menengok kembali tiga, lima, bahkan tujuh tahun yang lalu. Pernah kah kita berpikir untuk bertemu? Menjadi sesuatu yang serupa saat ini? Sungguh, kisah ini adalah kejutan termanis yang Dia berikan padaku.

Lima tahun yang lalu, aku baru beranjak 15 tahun, masih berseragam biru-putih, di sebuah sekolah yang sudah serupa rumah kedua bagiku. Pagi hingga mungkin menjelang petang aku menjelajahi sekolah itu, kau bisa tanya pada bangku-bangku perpustakaan, pintu-pintu kelas, meja-meja kantin, sebuah ruangan penuh makna yaitu ruang OSIS. Disana semua karya pertamaku ku raih. Karya-karya yang sungguh baru pertama kali ku lakukan, menjadi ketua OSIS, sekaligus ketua umum semua kegiatan di sekolah, pendrama bahkan menjadi assisten mentor, membuat majalah untuk pertama kalinya, menjuarai beberapa lomba hingga menguatkan langkahku untuk merambah lebih jauh nantinya, mengadakan acara yang baru pertama kali di sejarah sekolah itu –wayangan dan lomba bedug, meraih capaian di pramuka. Belajar banyak hal, mengenal dunia yang ternyata tak hanya hitam dan putih. Serta merencanakan banyak impian menuju dunia putih abu-abu. Dan saat itu, aku belum mengenalmu. Apa kabar kau di entah sana? –Tuhan masih menyimpanmu.

Tiga tahun yang lalu –17 tahun, menyimpan banyak cerita tentang apa pun dan dengan siapa pun. Hampir telah ku coba bagaimana hidup dengan berbagai dunia. Dunia remaja yang penuh gelak tawa, impian dan rama-rama cahaya, bahkan air mata. Dunia profesional yang mengenalkanku pada banyak orang-orang hebat, dari istri mentri, direktur umum sebuah harian lokal, wartawan, fotografer, budayawan, sejarawan, sastrawan dengan berbagai alirannya yang baru ku kenal saat itu, penulis, komikus, desainer, penyiar radio. Hm.. terlihat hebat? Tidak, dunia yang lebih hebat menurutku adalah dunia ketika aku masih bercengkrama akrab hingga sekarang dengan tukang batagor dari SD sampai SMP, penjaga sekolah, tukang bersih-bersih, dan ibu-ibu kantin. Kemudian, aku berjabatan dengan dunia persahabatan yang kuat, dunia ini memang hanya milik kami bertiga. Suatu saat kau harus berkenalan dengan dunia dengan tiga sisi ini, dunia inilah tempat semua harta karun dan rahasia tersimpan.

Pada saat ini pula, aku merasakan bagaimana hidup dalam dunia abu-abu. Belajar untuk mengikhlaskan rasa kehilangan. Menyembunyikan banyak air mata untuk terlihat tak apa. Padahal dalam hatiku aku remuk redam, menyimak bayangan beliau yang tiba-tiba lenyap. Seperti debu yang terbawa angin, benar-benar tandas. Sebuah ruangan lengang, sangat lengang.. begitu kah rasanya ditinggalkan? Hingga air mata tak jatuh dari dua bola mata, namun sungguh langsung basah ke hati. Seperti tak ada udara. Sesak dan sakit. Sempat tak bisa memahami harus berlaku seperti apa. Sampai pada suatu ketika, beliau hadir dalam mimpi dan sebuah pesan yang menancap kuat : istiqomah, nduk..
Aku kehilangan teman diskusi, teman bermain, seorang kakek, seorang guru, seorang penasihat, seorang yang bijaksana, seorang dengan binar mata yang bening seperti telaga menyambutku diambang pintu ketika aku menyerahkan dua piala untuknya. Seorang pembaca setia setiap karyaku, seorang yang sabar menyuapiku, seorang yang meminumkan obat ketika aku sakit, seorang yang suka air madu yang ku buat untuknya, seorang yang membantuku membuat mainan. Seorang imam yang tenang, seorang sosok suami yang diidamkan, seorang ayah yang ku inginkan untuk anak-anakku nanti. Seorang yang bersahaja dengan sepeda ketika semua kepala sekolah mengendarai mobil. Seorang yang dikenal dari orang seusianya, hingga anak-anak di kampung. Seorang yang selalu bersikeras berjalan ke masjid, seorang yang berusaha mengeja Qur’an. Seorang tukang kebun yang handal, seorang penyayang binatang yang lembut. Seorang yang menginginkanku menjadi seorang penulis, seorang yang menginginkanku menjadi seorang psikolog dan guru. Seorang yg menanamkan banyak hal tentang rasa sosial. Dan. . . seorang yang saat ini tak bisa ku ceritakan tentang semua keinginannya padaku dan telah tercapai..

Dunia yang lain adalah sebuah dunia perubahan, dunia yang lahir dari sebuah tekad dan kenekatan. Begini ceritanya, setiap pulang sekolah aku lebih sering naik angkutan umum, jangan ditanya berapa lamanya, lamaaa sekaliii.. kau bisa tidur dengan nyenyak disana, kau akan diajak berkeliling kota. Dari sekolah hingga depan gang rumah, bisa mencapai hampir satu jam. Rute angkutan itu melewati sebuah perkampungan yang sangat kuat dengan orang-orang nasraninya, bahkan disatu kampung itu terdapat dua atau tiga gereja, dan memang banyak orang-orang etnis yang tinggal disana, suatu saat aku melihat pembangunan sebuah masjid. Aku mulai berpikir dan bersyukur, akhirnya ada masjid di sekitar sini. Setelah beberapa bulan, masjid sederhana yang tak bisa dikatakan besar itu berdiri. Karena setiap hari aku melewatinya, aku semakin penasaran dengan masjid itu. Hingga suatu hari, dengan mengucap namaNya, aku memulai langkah. Aku menceritakan temuan masjid ini ke beberapa teman Rohis –meski aku bukan termasuk pengurus Rohis. Aku mengajak beberapa teman untuk bersilaturahim ke masjid itu, niatku adalah mengajar TPA disana, ku pikir mungkin belum ada kegiatan disana. Setelah kesana bertemulah kami dengan sebuah keluarga yang memiliki masjid yang ternyata wujudnya adalah masjid wakaf keluarga. Memang rumah keluarga itu satu halaman dengan masjidnya. Dan ternyata, disana sudah berjalan kegiatan TPA namun sayangnya hanya ada satu pengajar dan itu laki-laki –anak dari pemilik masjid. Keluarga itu menyambut kami dengan sangat hangat dan menyenangkan, bahagia ada yang mau membantu mengajar. Jadilah kami mengajar TPA disana, dari sinilah aku mulai menapaki apa arti kata pengabdian yang sesungguhnya. Bertemu dengan banyak adik-adik yang cerdas dengan latar belakang kisah keluarga masing-masing. Ada yang selalu ingin aku dandani dan mencoba gaya berjilbabku, lucu! Ada seorang anak yang terlahir dari keluarga yang berbeda agama, dia adalah satu-satunya anak muslim diantara saudaranya, dan yang mengharukan dia sangat semangat TPA.

Dan satu lagi, dunia anak-anak. menjadi assisten teacher sebuah Paud yang baru berdiri. Diajak belanja keperluan Paud, mendekorasi ruang kelas, bertemu dengan orang tua wali untuk pertama kali, memakai sebuah name tag yang tak mungkin ku buang –bertuliskan “bunda tiara”, dan masih teringat sebuah pagi yang indah ketika menyapa anak-anak didik untuk pertama kali. Berbagai kisah dirajut disana. Mengenal bagaimana membuat materi pembelajaran PAUD, menyiapkan keperluan mengajar, membuat permainan. Mendiamkan anak yang rewel sambil menggendongnya hingga dia akhirnya terlelap dalam dekapanku. Mengajari anak berlari, bayangkan bahkan ada anak yang tak berani berlari, dia takut berlari, dan harus ku ajari. Dan kemudian menghantarkan anak-anak dari ujung pintu kelas ketika mereka dijemput orang tuanya,  dan sebelum itu membantu memakaikan mereka sepatu, membereskan alat makan dan alat tulisnya. Kenangan indah yang tak mungkin terlupakan.
Ketika aku sedang menjalani hari-hariku, dimana kamu? Mungkin kau juga sedang melakukan banyak hal, bahkan aku yakin kisahmu lebih hebat dari ini. Saat itu, Bahkan aku tak bisa membayangkanmu..

Aku hanya menyebutmu dalam sebuah doa tanpa nama. –Tuhan tetap masih menyimpanmu.
Tiga bulan lalu –mei, menjadi nyatalah apa yang mungkin Tuhan simpan, keyakinan dan kemantaban untuk berlarung bersama. Sedepa kemudian, kembali kita harus menjalani hari masing-masing. Benar-benar masing-masing, bermain layang-layang sendirian, mengulur talinya terlebih dahulu, untuk membiarkan kita merasakan angin dibawah sayap masing-masing, untuk bisa terbang lebih tinggi lagi kuat untuk mengendalikan badai.

Kita berawal dari hulu yang berbeda, menjalani aliran sungai masing-masing dengan kisah yang berbeda. Dan kita hidup seperti sebuah perahu kertas yang menjalani saja titah Tuhan membawa kita entah sampai mana. Kita bawa serta semua cerita dalam perahu itu. Hingga suatu saat, dua aliran sungai dengan arahnya masing-masing Ia pertemukan dalam sebuah aliran yang lebih besar. Bukan aliranya saja yang besar, tapi juga kedalamanya yang semakin dalam. Lebih curam, lebih menikung. Tapi tahukah kau, dengan segala keriuhan aliran sungai kita ini aku merasakan sebuah ketenangan. Ketenangan yang selalu ku persembahkan untukNYA, yang telah membuat aliran sungai ini begitu ajaib dan sampai pada sebuah pertemuan antar alirnya. Tidak peduli bagaimana halangan yang menerpa, ketika ketenangan itu telah menggenapi jiwa maka yang ada hanyalah sebuah prasangka bahwa Dia menyiapkan yang lebih baik dan terbaik. Segalanya tak pernah terduga, bagaimana kita kan melewati masa mendatang. Sama seperti tak menduganya kita pada sebuah pertemuan agung ini. Biarkan Tuhan menurutkan kehendakNYA dari awal hingga akhir, pertemuan yang telah Tuhan lakukan pada kita pasti bukan tanpa maksdu apa-apa. Aku masih merasakan, sesuatu yang besar menunggu kita di dermaga. Mungkin disana Tuhan menyiapkan sebuah pemandangan terbitnya matahari dari garis horison yang melengkung anggun, dengan sinarnya yang berbinar keemasan menimpa riak air pantai dermaga itu..

: Semoga Tuhan tetap menyimpanmu untukku, Tidak kah aku berlebihan?

Songgolangit, 31 Juni 2013 (21:23)

ساواريا


Saawariya, sedang waktu terus melaju dihadapanmu. Menggenangkan kenangan yg terus mengalir. Hingga harus menahan apa yg selalu ingin tertuang dlm kata.

Saawariya, tidak sebentar waktu yg kita pacu. Bertahanlah kita dalam degub masing-masing. Hanya ada tanah dan langit. Serta Dia yg menjaga ikatan keduanya.


Sabtu, 10 Agustus 2013

Surat utk seorang adik

Salam.. Mungkin memang terdengar asing dan canggung, tapi ku mohon terimalah salam yg bisa ku berikan padamu ini. Salam seorang kakak yg baru saja hadir di hidupmu.
Adik, betapa pun aku dan kau sama. Kita sama2 seorang perempuan yg tak pernah ingin kehilangan. Apa kau mulai berpikir utk kehilangan seorang kakakmu?
Tidak, jgn pernah kau merasa demikian, dia tetap akan menjadi milikmu. Masih sama seperti sebelumnya, dia akan tetap menjadi kakakmu yg melindungimu, yg tetap setia menghantarkanmu, yg tetap bisa menjagamu, dan tetap bisa menampung ceritamu.
Aku paham, sesungguhnya keinginan kita sama. Sama-sama ingin berada disisinya. Yaa.. Tentu dengan posisi yg berbeda. Tenanglah, aku akan tetap mengingatkanny utk memiliki waktu bersamamu.
Bahkan, satu janjiku padamu. Bukan hanya dia yg akan menjaga, membahagiakan dan menahan air matamu.. Tapi aku juga akan demikian.
Bolehkah aku juga duduk disampingmu? Seraya kakakmu juga akan ada disisimu?
Menyeduh senja bersama..

Rabu, 07 Agustus 2013

Menunggu kabar

Menanti sebuah kabar dr seberang.. Berjuta2 detik yg perlu diterjang. Hanya demi sebuah kalimat : semua baik2 saja. Namun kiranya, kabar itu datang tak tepat pada waktunya. Hingga segala resah menampakkan wujudnya.
Dan, apa kah ini benar2 baik2 saja.. Atau ada yg sedang terjadi diluar kendali? Bergenggam aku padaMu, Tuhan..
Lemah sudah degub menunggunya pulang. . Meski tak lelah berharap pintu segera terketuk dan dia hadir di ambangnya menyeringai senyuman senja..

Selasa, 06 Agustus 2013

Dalam doaku

Dalam doaku, shubuh ini kau menjelma langit, yg semalaman tak memejamkan mata.
Yg melengkung bening siap menerima cahaya pertama..
Yg meluas hening siap menerima suara-suara...

Dalam doa malamku, kau menjelma denyut jantungku. . .

*sapardi djoko damono

Senin, 17 Juni 2013

Segelas Air Mata

dia datang lagi, namun kini mungkin ada yang berbeda.. sudah terlampau lama kami tak bersua. mungkin semenjak pertemuan di sebuah kedai teh yang kami puja. kedai teh itu menyajikan aroma kenangan bagi kami. menyeruak lembut dalam hatiku sebersit nostalgia yang melambung. kedai teh yang tiap jumat sore kami rutin kunjungi. hanya karena lelah dengan rutinitas kerja yang hanya memandangi layar berwarna yang menyajikan berbagai data yang segera harus diolah. kedai teh itu memang terletak di persimpangan jalan antara kantor kerja ku, dan toko bunga tempatnya bekerja.

lama nian aku tak lagi mampir disana. mungkin karena kami juga tidak pernah bersama lagi. dia, sahabat yang menyenangkan. berbagi apa saja, menertawai kekonyolan akan kehidupan bahkan kesialan yang menimpa kami. membicarakan rekan kerja masing-masing. dan, tentang cita masing-masing. dia yang ingin sekali ke belanda, dan aku yang ingin sekali terbang ke india. jauh berbeda! kami memang memiliki selera yang jauh berbeda. aku yang pasrah saja menerima kerja di kantor, dengan meja kursi dasi kemeja ---semua membosankan. sementara dia, rela gelar S1nya hanya berada di balik bunga yang dia tata dan rawat tiap pagi di tokonya.

perjumpaan nanti senja, adalah perjumpaan yang pertama setelah sekian bulan, ah.. atau tahun -tidak bertemu. aku dengan rutinitasku, dan dia dengan langkah kelincinya yang lompat kesana-kemari mencari yang ingin dia temukan, namun tak kunjung dia dapatkan. apa yang dia cari? --sejauh aku mengenalnya, aku pun tak tahu apa yang dia cari.

matahari merendah, lampu ruang kerja dimatikan. segera ku berjalan di kedai teh tempat kami berjanjia. dari surat elektronik yang dia kirim kemarin menandakan dia ingin, bahkan sangat dan harus bertemu.. aneh memang. ketika mengingat kembali mengapa dia tiba-tba hilang. ketika ku tanya di toko bunga tempat kerjanya waktu itu, kawannya hanya berkata, dia pergi ke suatu tempat dmana dia merasa akan menemukan yang dia cari. ah! dia memang terlalu semu untuk ku raba pemikirannya. namun, sejauh ini aku nyaman, bahkan merasa kehilangan.

kini aku berada di meja dekat jendela kayu di lantai dua kedai teh. aku memesan teh tarik hangat -seperti biasa. dan dia nanti --ku rasa akan memesan es teh mint. huuum... ku hirup dalam-dalam. dan dinding kedai ini mulai bercerita tentang kisah-kisah kami yang kami sembunyikan di dalamnya, aku mengingat itu semua. sesaat gerimis hadir, arome petrichor memanjakan. sekilas ku pandangi jalan dari atas. nampak gadis berkulit langsat dengan gaya kasual, rambut panjang yang dia tahan dengan karet, membawa tas yang sudah kumal, berjaket ala armi. terburu-buru ia masuk kedai. itu dia! sudah datang...!!

aku menyapanya dengan melambaikan tanganku. dia duduk dengan raut muka bersenyum palsu. ada kah yang salah?
sesaat pelayan datang.. menawarkan menu, namun gadis di depanku ini menolak. dan hanya meminta air putih saja. aku heran, air putih? mana teh mint yang dia agung-agungkan itu?

sesaat dia menunduk di hadapanku, diam. kami diam. suara denting hujang yang berirama. dia perlahan mengangkat wajahnya..
di ceruknya ku temukan buliran air mata yang lembut menuruni wajahnya...
aku kaget, bingung. tak tahu apa yang harus ku lakukan..
air mata itu tak henti berdiam. turun lagi, lagi, dan lagi.. kini pundaknya terguncang, sesenggukan.

aku hanya menatapnya hening.. seolah bertanya, ada apa, gadis?
akhirnya dia berkata, "aku hanya ingin tahu, bahwa aku bisa menangis dihadapanmu.. tangis yang tak pernah ku tunjukkan di hadapan laki-laki, apa lagi kamu. aku hanya ingin kau tahu, bahwa aku lelah mencari. dari perjalanan jauhku, aku menyadari bahwa yang ku cari, ada disini.."

segelas air putih datang pada meja kami, bersisihan dengan segelas air mata yang membuatku mengerti..

Minggu, 16 Juni 2013

Apa Kabar Sekolah Inklusi...?

Menelisik kembali tentang sekolah inklusi yang menjadi dengungan dunia pendidikan Indonesia, apakah sekolah inklusi telah menemukan tempatnya dengan nyaman, atau kah masih memerlukan banyak koreksi dari berbagai lapisan? Lapisan yang dimaksudkan 1adalah lapisan sistem, paradigma masyarakat, keturutsertaan masyarakat dalam peran aktifnya, dan tentu tak lepas oleh peran pemerintah sebagai penguat yudisial.

Sebelum lebih jauh mengupasnya, mari kita berkenalan terlebih dahulu dengan apa yang disebut sekolah inklusi. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 menyebutkan bahwa: Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Secara operasional, Watterdal (2005) menjelaskan dalam Kuning (2010) bahwa sebuah pendidikan inklusi adalah merangkul dan menerima keragaman. Tidak hanya mentolerirnya, tapi juga mendorong keingintahuan dan kreativitas. Bukan hanya menyesuaikan atau kompromi , tapi juga menciptakan sebuah semangat kompetisi yang konstruktif . Bukan di antara anak, tapi anak-anak tersebut akan bersaing dengan dirinya sendiri. Secara mudah, sekolah inklusi adalah sebuah sekolah dimana anak berkebutuhan khusus dengan anak normal duduk di suatu kelas yang sama dengan sekolah yang sama, namun tetap ada guru khusus yang menemani anak berkebutuhan khusus ini belajar dikelas jika diperlukan.

Tentu pengertian tentang sekolah inklusi ini memberi semacam pencerah bagi dunia pendidikan anak yang selama ini masih berada dalam lorong panjang tanpa cahaya. Sekolah inklusi memberi jawaban atas banyak doa-doa anak berkebutuhan khusus diluaran sana yang menginginkan sekolah yang sama dengan teman sebayanya. Tidak hanya pendidikan yang mereka dapatkan dari adanya sekolah inklusi, lebih dari itu bahkan kepercayaan diri anak berkebutuhan khusus dapat meningkat bersama dengan dunia pertemanan mereka yang meluas, dan tidak adanya lagi diskriminasi atas hak-hak mereka.

Sekolah inklusi tidak hanya memberi jawaban atas doa mereka, namun menjadi pembelajaran tersendiri bagi siswa biasa yang duduk bersama di bangku sekolah dengan teman berkebutuhan khususnya, mereka diajarkan menerima perbedaan dan akhirnya mereka menganggap semua kawannya adalah sama. Sama dalam arti tidak lagi untuk dibedakan bagaimana dia secara fisik atau mental, karena akhirnya mereka menjadi paham bahwa pertemanan menembus segala keterbatasan bahkan tidak ada lagi kata-kata “aku tidak berteman dengannya, karena aku berbeda dengannya.” Anak-anak akan memahami dunia ini adalah dunia yang berwarna dengan segala rupa, dengan segala isi yang beraneka.

Tulisan diatas terdengar sangat optimis. Ya benar, kita memang harus selalu optimis pada sebuah kebijakan dan sistem yang ada, sikap optimis atas sistem ini tidak akan terlaksana tanpa adanya suatu aksi yang nyata dengan mendukung dan turut serta melaksanakannya. Namun, tidak pantas juga jika kita hanya melihat dengan mata satu yang tertutup, kedua mata memang harus terjaga mengawasi segala bentuk kemungkinan. Maka, patutlah dipertanyakan, apakah kurikulum pendidikan kita telah siap dengan adanya sekolah inklusi? Mengingat bahwa penilaian siswa biasa dengan siswa berkebutuhan khusus itu berbeda pencapaiannya. Selanjutnya, apakah tenaga pendidik mampu memenuhi kebutuhan siswa berkebutuhan khusus dan siswa biasa, melihat bahwa tidak semua guru memiliki rasa untuk membina siswanya, karena selam ini banyak guru yang hanya mengajar tidak mendidik apa lagi membina. Dan yang paling penting, adalah bagaimana cara menanamkan rasa toleransi dan kebersatuan bagi siswa biasa untuk lebih memahami kawannya yang berkebutuhan khusus. Apakah malah dengan adanya kawan yang berkebutuhan khusus ini siswa yang lain menjadi terpecah konsentrasinya? Jika semua pertanyaan ini tidak mampu terjawab dengan tepat, maka sekolah inklusi hanya seperti solusi semu yang kemudian memberi masalah baru di dunia pendidikan.

Hal ini tidak hanya omong kosong belaka, karena di beberapa sekolah yang sempat ditemui, sekolah yang awalnya umum mendadak menjadi sekolah inklusi hanya karena Surat Keputusan, tanpa ditanya kesiapanya. Dari sedikit sisi ini mungkin kita bisa sedikit terbuka, apakah sekolah inklusi memang jawaban yang tepat? Apapun atau bagaimana pun, Indonesia dengan pendidikannya harus tetap optimis! Sebaik apapun retorika dilantunkan, seideal apapun kebijakan diputuskan jika tanpa adanya peran aktif semua tangan masyarakat, maka akan sama saja.

Sakti Mutiara
Dari atas kereta, 080613

Jumat, 14 Juni 2013

Pada Seorang Lelaki


Aku menemukanmu diantara puing hujan yang sedari tadi pecah dari langit
Aku menemukanmu diantara rerumput yang gemulai berdamai dengan angin
Aku menemukanmu di mata seorang ayah yang sabar menunggui anaknya pulang sekolah
Aku menemukanmu di air mata hangat yang tak pernah rela jatuh dengan murah
Aku menemukanmu dari aliran sungai yang gemericik tenang di tengah hutan pinus
Aku menemukanmu tersibak dilembutnya awan-awan yang ringan bergerak
Aku menemukanmu dari senyuman anak-anak yang menggenggam erat gula-gulanya
Aku menemukanmu di jemari yang mengepal kuat untuk terus bergerak
Aku menemukanmu di detak langkah kaki sepatu yang harmonis mengetuk lantai
Andai kemudian aku melupakanmu,
Aku akan kembali mengingatmu dengan banyak hal semampuku..
Karena sungguh sederhana citramu ku gambarkan dalam imajiku
Dalam keheningan yang ku ciptakan sendiri pun
Aku mampu mengingatmu
Dari pejaman mataku,
Dari telinga yang ku hening kan..
Aku menemukanmu dengan cara-cara yang sederhana

Menjadi Dewasa

setiap kita melewati anak tangga dalam setiap jenjang kehidupan. mungkin terkadang kita harus rela terhenti sekejap dan tidak naik ke tangga selanjutnya, demi mengukur angin yang menerpa. terkadang kita harus rela trun lagi satu jejak, karena tangga diatasnya belum siap untuk kita jejaki..

namun, apa pun yang kita lakukan.. semua adalah demi sebuah kedewasaan. ada yang menjalani kedewasaan dengan tidak terduga. tiba-tiba harus mengerjakan tugas kedewasaan dengan tanpa penawaran, siap atau tidak. ada yang diberi banyak kompensasi atas definisi kedewasaan, yang akhirnya ia tak pernah menjadi dewasa. sebab lingkungan selalu memaklumi semua kesalahan-kesalahan yang seharusnya itu mampu mendewasakan

hati. adalah yang paling utama untuk menjadi dewasa. jika saja hati tak pernah menjadi dewasa, maka ego kanak-kanak, masih saja menggoda dan meraja.

kini.. menjadi dewasa adalah dengan mampu mengukur jalan mana yang akan kau tempuh. menakar apakah kaki ini siap diajak berlari atau hanay berjalan saja. mengarahkan pada tujuan mana sekiranya menuju.

menjadi dewasa adalah dengan berani memilih dan bertanggung jawab atasnya. berani mengambil peran, bagaimana dia harus berperilaku pada kedewasaannya itu..

berpikir untuk tidak hanya tentang harapanmu untuk hidupmu, tapi harapan orang lain terhadap hidupmu atas adanya dirimu.. bukan lagi tentang apa yang kau ingin kan, tapi apa yang kau dan mereka inginkan. karena setiap keputusan akan menuntut keputusan-keputusan besar yang lain.. dan disetiap keputusan, kau menurut sertakan arah jalan orang lain..

Rabu, 05 Juni 2013

Berbincang Tentang Pendidikan Anak Islam


Jika memang benar pendidikan adalah pilar utama dalam pembangunan masyarakat bahkan peradaban suatu masa, maka sudah selayaknyalah kita sebagai individu berpendidikan menjadi penggerak adanya sebuah perubahan. Karena, telah jelaslah bahwa arti mendidik adalah mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang lebih mumpuni. Mendidik tidak hanya ditugaskan oleh seorang bergelar “guru.” Pendidikan pun tak hanya terbatas pada bangku dan tembok sekolah. Sebab ilmu tertulis disetiap peristiwa, terrekam disetiap gejala alam, dan terbingkai di tiap fenomena manusia. Bukan lagi saatnya pendidikan dilakukan hanya dengan berseragam dan buku tebal. Pendidikan karakter yang diharapkan tak hanya didapat dari sebalik halaman-halamn buku. Masih kah kita mencedirai arti pendidikan itu sendiri? Dari Rasulullah lah kita seharusnya berporos, menelaah kembali hakikat pendidikan bagi anak. Bahwa ternyata Pendidikan utamanya ditugaskan kepada orangtua, kemudian lingkunganyalah yang menjadi tempat pembiasaan anak menjadi terdidik. Karenanya lah pendidikan menjadi hak anak atas kedua orangtuanya. Apa kah Rasulullah memberi teladan dalam mendidik? Sungguh, beliau adalah manusia sempurna yang menurutkan segala perilakunya untuk menjadi uswatun khasanah. Terdapat beberapa karakter yang seyogyanya dimiliki seorang pendidik :
a.) Penyabar dan tidak pemarah. b.) Lemah lembut dan menghindari kekerasan.  c.) Hatinya penuh dengan kasih sayang. d.) Memilih yang termudah di antara dua perkara. e.) Fleksibel f.) Tidak emosional g.) Bersikap moderat dan seimbang.  h.) Ada senjang waktu dalam memberi nasehat. (disarikan dari buku Prophetic Parenting)

Minggu, 02 Juni 2013

Sasmara Dhahana*


Oleh Sakti Mutiara E

Andai apa yang ku lakukan saat ini hanya sia-sia dan membuang waktuku, maka aku tak kan pernah menyalahkanmu. Mungkin memang aku yang terlalu memaksakan segalanya. Dengan sangat mempercayaimu. Namun, sungguh! Aku sangat percaya padamu saat ini. Percaya bahwa  kau benar-benar akan datang, dan segera ku lekat engkau disini, di tempat yang jauh dari kata romantis. Di tempat titik awal semuanya –yang bagiku menjadi awal yang berubah sempurna, setelah aku menyadarinya. Namun adakah kau pun percaya bahwa aku benar-benar akan datang?
Malam ini, minggu 3 Januari 2010. Aku menunggumu. Menunggu tanpa bisa menghubungimu, untuk memastikan kau benar-benar akan datang, atau sekedar berkirim pesan singkat lewat telepon genggam“Aku sudah sampai. Kau dimana?”
Tapi, entah mengapa aku sangat yakin, kau pasti datang. Membayar janji kita saat lalu.

    Langit Solo bergeliat dari temaram. Mencari terangnya dari sebuah rembulan yang sayu. Namun awan legam lebih penuh daya. Menjajah langit dan membiarkannya menghitam seperti jelaga. Kemudian awan bergesekan, menimbulkan kilat yang maha sempurna untuk menyobek langit yang durja. Tak hanya sekali namun berulang, lagi dan lagi. Kemudian gemuruh yang dahsyat mencengkeram alam seakan tak mampu lagi bebas dari amukan. Selang menit bergulir, awan hitam itu meleleh berubah menjadi hujan yang tiba-tiba turun dengan derasnya.
Oh.. lengkap sudah! Aku basah tak beraturan disini, hanya untuk menjumpaimu. Namun, deras hujan terlalu jalang, ku putuskan tuk pacu motorku, mencari tempat berteduh. Akhirnya ku temukan kios tambal ban yang berjajar dengan kios-kios buah, berseberangan dengan stasiun Purwosari –tempat yang kita janjikan.
    “Bocor, Mas?”, Tanya seorang bapak pemilik tambal ban ini.
    “Mboten, Pak. Ndherek ngeyup, nggih?1”. Jawabku sembari melepas helm.
    “ oh… Monggo, monggo.2”, jawabnya dengan senang hati. “Mau kemana toh Mas memangnya?”
    “Nunggu orang, Pak..”, jawabku dengan sebuah senyum. Senang aku mengatakannya.
    “ Owalah… pasti nunggu orang penting ya, Mas? Hehehe..” ucapnya. Dan aku hanya tersenyum simpul. Ya, orang ini sangat panting, Pak, batinku.
Tak lama terdengar laju kereta api membelah kota. Derunya berpacu dengan suara gemuruh langit yang masih saja mengucurkan hujan.
Aku memastikan tasku tidak kuyup. Dan  lega ketika aku mendapati buku Empat Kumpulan Sajak yang ditulis W.S. Rendra , masih rapi tersampul, tak terjamah hujan setetespun. Bahkan sepucuk surat beramplop yang ku sisipkan, masih terlihat baik-baik saja disana. Sengaja ku selipkan ia di halaman 17 pada halaman sajak Rendra berjudul Serenada Hijau.
Ku pacu kudaku. Ku pacu kudaku menujumu. Bila bulan menegur salam…3
    Ku hitung detik demi detik yang membunuhku disini. Aku terpenjara, terpenjara oleh runcing kaki hujan yang menapak tanah, terpenjara oleh sebuah janjiku padamu, terpenjara oleh kebisuan dengan lelaki di sampingku ini –yang sedang menikmati radio yang sesekali hilang gelombangnya.
Mataku tak pernah lepas dari stasiun Purwosari di seberang jalan. Berharap kau datang dan bersambut salam bersama senyum yang ranum. Namun, tak ku dapati jua kau. Ayolah Tuhan… begitu sulitkah aku menemuinya sekali ini?
    Setengah jam.. hujan tetap tak mau mengalah atau untuk sekedar menguragi lajunya. Ku lihat sudah dua kereta api berlalu disini. Dari arah stasiun Purwosari dan yang satunya dari arah stasiun Balapan.
    “Sudah setengah jam kok hujannya gak mau berhenti ya, Mas? Hehe.wong …ya. januari..… udane nggrejeh wae.4”, ucap bapak ini memulai percakapan, mungkin ia bosan juga dengan sinyal di radio bututnya yang tak mau tenang.
“Yang ditunggu kok belum datang toh, Mas? Memang nunggu siapa kalau boleh tahu? Apa ndak bisa dihubungi, Mas?”, tanyanya.
    “ Temen, Pak. Dia mau pinjam buku. Sayangnya, saya gak punya nomer HPnya, Pak.” Jawabku masih dengan nada optimis. Dan disambut dengan sebuah ohh… dari si Bapak.
 “Pak, tau gak kenapa hik5 dekat rel itu sudah gak ada?” tanyaku penuh rasa ingin tahu.
    “Oh,, seminggu yang lalu di dekat rel ada penertiban jalan, Mas. Sepertinya mau ada perluasan jalan, gak terlalu paham juga, Mas. Hik itu juga baru kok, paling belum ada lima bulan di situ. Saya juga belum kenal sama yang punya.” Jawabnya. Pertanyaanku terjawab sudah, dan aku makin gelisah.
Aku kembali terbisu. Kali ini aku benar-benar kelu. Semua beradu. Rasa percayaku yang teguh untuk tetap menunggumu, rasa rindu yang siap tersulut, rasa ragu yang terus melaju. Tapi, aku tetap yakin! Tuhan tahu apa yang harus Dia lakukan padaku. Lihat Tuhan, aku tidak menyerah termakan waktu! Aku masih disini! Nilailah kegigihanku Tuhan..
    Aku keluarkan buku karangan Rendra itu, sembari terlamun bayangmu.
Persis seperti saaat ini. Tepat ketika langit menghujat bumi dengan hujannya, dengan kilatnya, serta dengan gelegar gemuruhnya!
Saat itu aku sungguh menuduh Tuhan dengan nasibku yang benar-benar buruk! Hampir pukul Sepuluh malam aku pulang dari kampus. Tugas menumpuk sebagai tugas akhir semester ganjil, dan sampainya aku di Purwosari, ban motorku bocor! Tak ada jas hujan, padahal hujan sungguh sedang menguji kesabaranku saat itu. Sempurna sudah!! Aku menuntun motorku sampai ke kios tambal ban –yang jadi tempatku bertuduh sekarang. Sembari aku menunggu ban dalamku diganti, aku memutuskan menyeberang ke sebuah hik yang tak jauh dari rel kereta api. Sekedar nge-teh atau manyantap gorengan sembari menghangatkan tubuh yang mengggigil. Baru sekali ini aku ke hik itu.
    “Ngunjuk napa6, Mas?” Tanya pemilik hik.
    “ Teh anget aja, Pak.” Jawabku semabari memandang sekeliling. Kemudian telingaku tertuju pada suara lembut yang sedang membaca ayat. Suaranya lirih.. namun terdengar jelas dan melantun indah. Seakan hujan, petir, gemuruh langit dan laju kereta tak mampu mengalahkan suara itu dari telingaku. Seolah semua alam berdamai dalam lantunan ayat itu. Tertunduk mereka semua akan desir suara yang lirih redam. Aku mencoba mencari asal suara itu. Akhirnya ku lekat seraut wajah gadis dari bawah lampu yang redup di atas meja yang menghidangkan nasi bungkus dan aneka gorengan yang sedang terduduk di pojok tenda biru hik ini. Saat itulah aku menemukanmu. Ya, seorang gadis berkerudung biru muda yang tengah mengeja Al-Qur’an. Kau tidak terlalu cantik. Namun wajahmu khas gadis Solo yang luruh dan sangat sopan.
Saat itu aku coba menghangatkan kuyupku dengan mendiskripsikanmu.
Pertama yang aku pandang adalah matamu. Matamu yang sangat teduh tertunduk mencoba menghalau redup untuk tetap mengeja kitab. Bulu matamu sangat anggun, benar-benar anggun. Bulu matamu panjang… jatuh tertunduk diantara kelopak matamu yang melengkung indah.. itulah yang indah darimu!
Sangat menarik ketika aku mencoba menggambarkan bibirmu yang sungguh ranum nan delima.. selayak mawar yang utuh yang tersepuh embun yang suci.
    “Ini Mas, tehnya.” Kata  bapak pemilik hik ini seraya menyodorkan teh hangat yang mengepul. Aku menyeruputnya… namun mataku tak berpindah darimu.
    “Nduk, belikan gula ya di dekat stasiun?!”. Pinta pemilik hik padamu. Hah… ternyata kau –gadis bersuara sutra yang telah memahat hatiku- putri pemilik hik ini.
Saat itu aku  buru-buru pergi, karena hujan mulai merendahkan langkahnya, dan malam semakin tenggelam.
    Sejak malam itu, aku tak dapat lagi menghimpun nyawaku kembali utuh. Nyawaku telah terbagi dengan banyangmu, wahai gadis..
Bahkan aku telah menuntun hatiku sendiri untuk mengucap sesuatu yang serasa tabu bagiku sejauh ini. Sungguh tabu hingga aku tak mampu mencari kata apa yang tepat untuk menjelaskannya.
Sungguh gadis, aku tak mampu lagi… aku ingin kembali pada ‘nasib buruk’ku kala itu.
Tapi seakan waktu tak mau tahu hatiku, semua tugas, urusan organisasi, dan keperluan yang tak bisa ku tinggalkan, membuat waktuku tak bisa menghampirimu lagi. Itu masalahku!
    Hampir tiga minggu, aku baru bisa menyembuhkan dahaga yang terlalu kerontang! Akhirnya, aku bisa kembali menjumpaimu, gadis…
Malam sangat sendu kala itu. Hanya gerimis yang terlukis, dan rembulan tipis yang samar dan pucat –khas rembulan Desember. Ketika itu sekitar pukul delapan malam, ku paksakan waktuku untuk mampir ke tenda hikmu, hanya untuk menangkup wajahmu lagi. Tapi kali ini tak ku biarkan kita –aku dan kau, gadis- tuk hanya diam dan bisu! Aku ingin kali ini, ucap kita ikut berdenting selayak gerimis.
    Akhirnya indra lihatku menangkap seraut wajahmu yang pualam. Dan kau tahu, gadis, sepertinya hatiku sedang hujan madu yang sangat segar dan harum saat itu… Dahagaku terbayar!!
    “Mau minum apa, Mas?”, sapamu padaku. Saat ini kau hanya sendiri, dan tenda hikmu hanya terisi empat orang, termasuk aku dan kau.
    “Teh anget aja, Dik.” Jawabku dengan sedikit senyum.
Tak lama, segelas teh hangat yang sangat wangi kau sajikan kepadaku. Dan sesimpul senyum yang sangat wajar pun kau sajikan di bibirmu. Tapi kewajaran itu yang membuatmu istimewa!
    Kau duduk kembali di tempatmu semula. Kali ini bukan Al-Qur’an yang kau sandang, melainkan buku ukuran A5 yang sudah munguning kertasnya. Lamat-lamat ku baca sampulnya, yang tertangkap mataku hanyalah kalimat “kumpulan puisi…”. Dan aku sedikit terheran. Sesungguhnya manusia apa engkau? Tapi akhirnya aku tahu kalimat apa yang harus ku ucapkan padamu untuk kedua kalinya –setelah “teh hangat” tadi.
    “Penikmat sastra ya, Dik?”, tanyaku padamu. Dan saat itu kau sedikit tersentak, ada kesan tersipu di rautmu.
    “ Hehe, iya. Mas?” jawabmu sangat sederhana. Namun itu yang ku harapkan.
    “Kebetulan saya mahasisiwa Sastra Indonesia UNS, Dik. Hehe”
    “ Wah… menyenangkan! Bisa ketemu dengan seorang calon penyair seperti Mas!”, jawabmu dengan mata binar. Dan aku tersenyum geli.
Penyair? Untukmu, gadis.. kan ku syairkan purnama, ku puisikan samudra dan ku sajakkan gerimis ini.. agar lengkap jagadmu nanti. Ku harap kan jadi jagad kita. –harapan macam apa ini? Konyol!
    Bersama teh yang semakin kandas, malam yamg semakin legam, dan gerimis yang masih kekal mencurah, semua kata telah tumpah di bawah tenda biru ini. Sedikit tawa, diskusi yang tak serius, obrolan ringan tentang satra dan seni teater yang sangat kau puja. “Rasul mengindahkan sastra, sebab ia mampu melembutkan jiwa!” katamu ketika ku tanya mengapa kau menikmati sastra. Dan aku mulai mengerti siapa kau, wahai gadis pembawa setengah jiwa…
Terkadang mata kita sejurus, di redup ini ku cerna ada ranu7  yang tersaji di balik bulu matamu yang luruh, tepat di dalam selaput pelangimu.
Terkadang bincang kita tak terarah namun kau bisa membuatnya nikmat untuk ku selami alurnya. Dan akhirnya, pucuk di cinta ulam pun tiba! Sesuatu yang ditunggu seorang pria tentang seorang gadis, yaitu nama sang gadis. Kini ku bisa menyapamu dengan sapaan yang singkat “Ra”, begitu jawabmu ketika ku tanya bagaimana aku menyapamu. Sebab ketika kau ucapkan nama panjangmu, aku tak bisa mengingatnya, karena namamu terlalu asing bagi telingaku! Kemudian ku tanya apa artinya, dan kau menjawab dengan sangat memerah “Pernyataan cinta yang sungguh-sungguh atau cinta yang menggelora.” Jawabmu. Luar biasa! Nama yang sangat sempurna untuk makhluk sepertimu, wahai gadis. Tahukah kau? Tak perlu malu, karena begitulah engkau, setidaknya di mataku.
Kemudian ku perkanalkan pula namaku. Dan kau menanggapinya dengan ungkapan  yang membikin badai dalam dadaku “Ru,Semeru? Nama yang gagah, Mas..” katamu, bola matamu menerawang sambil mengulum senyum sendiri. Sungguh manis, Ra.
Dan perbincangan kita bermuara lagi tentang sastra. Dan kini hadirlah nama W. S. Rendra.
Kemudian aku menyebutkan  beberapa judul puisi Rendra, Surat kepada Bunda: Tentang Calon Mertuanya, Stanza, dan Kangen.
    “Wakh, belum pernah baca, Mas.. sayang sekali! Sepertinya bagus banget ya? Di SMA saya sangat minim untuk menikmati karya satra khususnya puisi-puisi, Mas! Menyebalkan memang, sastra seperti sengaja tidak diakrabkan dengan siswa! Seakan siswa disuruh mencari sendiri, berbeda ketika kita belajar eksak! Semuanya siap saji, ada rumus ini ya makan saja rumus ini! Tapi itulah asyiknya sastra, bebas yang sangat bernorma. Sama halnya ilmu sosial bukan? Itulah mengapa saya memilih jurusan ilmu sosial, Mas! hehehe.”, katamu dengan sangat menggebu.
    “Kalau mau, bisa saya pinjamkan kumpulan puisi Rendra, Dik. Judulnya Empat Kumpulan Sajak.” tawarku padamu.Dan jelas kau sambut dengan anggukan yang penuh semangat.
 Dan kita sepakat untuk bertemu di depan stasiun Purwosari saja, selepas isya’, minggu -3 januari 2010.
***
    “Mas, hujannya sudah reda… lha kok malah melamun!”, kata Pak tambal ban sambil menepuk bahuku.
    “Wakh.. hehe.. iya,Pak.”, jawabku sedikit terkaget. Aku berdiri dan mataku langsung menyapu ke seberang arah stasiun Purwosari. Berharap menemu sosokmu. Mataku menangkap sesosok gadis berkerudung biru, mirip dengan kerudung yang kau kenakan saat pertama aku bertemu denganmu, Ra. Namun sayang gadis itu menghadap pintu masuk stasiun yang berarti membelakangi arahku. Hendak ku panggil namamu, Ra, bahkan aku sudah siap dianggap tidak sopan. Dan hampir saja ku pacu kakiku kearahmu. Meski ku tak yakin itu kau.
Namun sejurus dengan niatku, telepon genggamku berdering terburu. Tersentak aku ketika mendengar suara dari seberang, yang mengharuskanku segera pulang! Seketika aku buyar! Ku pacu motorku dengan tergesa, bahkan aku tak sempat berpamitan dengan bapak ini atau hanya sekedar berterimakasih. Hujan yang tipis ku sobek tergesa.
    Maaf Ra, aku tak bisa kali ini… maaf…!! Aku harus pergi. Entah kapan lagi kita bisa bertemu. Bahkan sekarang hikmu sudah pindah, dan aku tak tahu dimana. Ataukah cukup di bawah tenda biru malam itu percakapan kita?
Satu hal yang bisa ku rumuskan, Ra ; aku telah mencintaimu dengan sangat sederhana. Dengan sebuah perjumpaan yang sangat sederhana, tak perlu banyak syarat sempurna namun sangat syarat makna. Aku belajar tentang mencintai dengan sederhana, mengagumi dari hal yang sederhana , dan cukup sederhana pula untuk menjadi tak nyata. Aku mencintaimu dari apa yang tak pernah ku tahu, dan akhirnya ku temukan pada dirimu, begitulah caraku memujamu. Namun, akhirnya ku putuskan.. sampai disini saja nasib membawaku padamu. Dan tidak akan ku sesali apa yang telah terjadi meski terlalu cepat diakhiri.

***
Dua minggu sudah habis tanpamu, Ra. Bayangmu mampu ku bunuh dengan semua kesibukanku. Namun ketika obrolan di kampus tentang Rendra, hatiku masih berdesir lemas. Dan aku jadi ingat buku yang akan ku pinjamkan padamu saat itu, yang telah ku sisipkan sepucuk surat tentangku padamu. Surat yang ku harap kau balas. Dan baru ku ingat pula, aku kehilangan buku itu!! Entah dimana, apakah tertinggal di bangku tambal ban itu… atau entahlah! Terjatuhkah, basahkah, atau terinjak-injak, hancur, kemudian dibuang bersama sampah-sampah yang busuk!? Seperti aku yang kemudian hancur!
 Walau bagaimana pun, aku sudah tak apa, Ra.. Banyak hal yang ku ikhlaskan. Termasuk kau…
***
Tibalah minggu yang tenang. Bersama secangkir teh hangat buatan ibu dan sarapan koran langganan ayah tiap hari. Tapi Ra, sejak lalu ketika janji kita tak tersampaikan, disetiap koran miggu aku selalu berharap ada puisi untukku darimu, wahai Sasmara Dhahana. Sebagai jawaban surat yang ku sisipkan dalam buku kumpulan sajak Rendra yang hendak kau pinjam, tapi… entah dimana ia sekarang. Tapi aku masih menunggu puisi di surat kabar yang nyaris terhimpit iklan-iklan hiu. Kapan aku mengeja puisimu Ra? Atau kenisbian yang ku dapat sepert sekarang ini?
Sebuah pesan singkat elektronik masuk di telephone selularku
“Ru, nama-mu ada di sajak  remaja di harian lokal. Ada juga yang sudi memakai nama-mu yah? Hahaha.”
-topan-

Harian Joglo Semar, 24 januari 2010.
Sajak Remaja
Padamu, Semeru
 Ru..
adakah yang bisa ku salahkan dari badai akhir tahun?
Maka, katakan Ru. Apa salahnya padamu.
Ketika di bawah tenda biru
 kita menyairkan rembulan yang terlalu cepat hilang.
Bahkan badai jalang  jadi genderang.
Ru, ada ragu padaku
Sebab takut tak mengerti batasku padamu…
Dan sejauh apa tapalku tuk  melaju
Sampai akhirnya ku tahu,
Untuk apa kau pacu kudamu
Hingga bertaruh pada waktu
Dan secarik kertas abu-abu.
Yang terselip di serenada hijau*mu

*) judul puisi W.S. Rendra
SasmaRA Dhahana
                    100110 -Dari Stasiun Purwosari

---- SELESAI ----




cerpen ini pernah menjadi pemenang lomba cerpen tingkat SMA se solo raya oleh FKIP UNS, ketika saya SMA dulu. . ^_^



Keterangan:
*) Sasmara Dhahana: cinta yang menggelora / pernyataan cinta yang sungguh-sungguh. Diambil dari bahasanya kawi.
1) penggalan puisi W. S. Rendra : Serenada Hijau.
2)ikut berteduh
3)silakan..
 4)hujannya tidak kunjung reda.
5) warung nasi bungkus pinggir jalan khas Solo
6) minum apa?
7)danau