Kamis, 22 Agustus 2013

SI KECIL DAN SETANGKUP SARANG BURUNG




Lagi-lagi si kecil yang senang berpetualag, kembali melakoni petualangan kecilnya. Kini dia tak lagi mengajak sepeda mini roda tiganya. Kini kaki si kecil mulai panjang dan dia sudah cukup berani untuk naik sepeda yang lebih tinggi dan beroda empat –ya, dengan sepasang roda bantu di sisi kanan dan kirinya. Bagaimana suara sepedanya? Jangan ditanya, berisik bukan kepalang. Ketika si kecil dengan sepedanya yang berwarna putih melintas di gang rumahnya suara roda bantunya yang tergesek aspal yang tidak rata itu bisa-bisa membangunkan anak tetangga yang tengah tidur siang, dan mereka sudah tahu pasti bahwa itu adalah suara sepeda si kecil. Si kecil tak peduli, dia terlalu senang bermain dengan sepedanya itu, bermain dengan angin yang terus menyepuh anak rambut dan poninya.

Kali ini, kemana si kecil mengayuhkan sepeda putihnnya? Satu tempat yang paling si kecil sukai sejak dulu. Adalah sawah yang berada di sebelah perumahan tempat si kecil tinggal. Sawah yang riuh, oleh gemerisik angin yang menyapa daun-daun padi, belum lagi suara cericit burung gereja yang menghampiri padi-padi yang merunduk, kemudian suara gemericing lonceng kecil milik pak tani untuk mengusir burung-burung itu, dan jika dia beruntung, si kecil akan bertemu dengan sekawanan bebek yang sedang digiring oleh pak peternak. Si kecil senang sekali duduk di tepi sawah itu, menikmati banyak hal yang bisa dia lihat dan merasakan angin yang menari-nari seakan ingin mengajaknya terbang.
Setelah beberapa lama, si kecil melanjutkan perjalananya. Kali ini si kecil memilih pulang saja, tapi dia memilih jalan memutar sebelum sampai ke rumahnya. Perlahan, sambil menikmati panas matahari si kecil mengayuh sepedanya yang berisik itu. Wah, lihat! di tengah-tengah jalan yang sepi itu si kecil menemukan sesuatu. Si kecil terlihat penasaran dan mulai mendekati sesuatu itu. sesuatu itu seperti jerami yang terpilin membentuk sekumparan benda melingkar, tidak terlalu rapi memang. 

Sekumpulan jerami dan daun-daun kering itu berbentuk seperti mangkuk yang tengahnya terbentuk cekungan. Si kecil yang makin penasaran mengambil benda tersebut, merekahkan cekungan itu sedikit. Dan, Hei! Dia ternyata menemukan sarang burung. Dan yang membuat si kecil makin girang adalah tidak hanya sarang burung, tapi juga ada tiga ekor anak burung yang mencericit lemah. 

Dilihatnya lagi, nampak sebutir telur burung yang sudah pecah terburai di sarang itu.
Selama ini si kecil tak pernah melihat sarang burung sedekat ini, bahkan sekarang dia dapat menyentuh sarang burung di setangkup tangan mungilnya. Ini seperti harta karun yang megah bagi si kecil. Merasa senang sekaligus iba, si kecil membawa sarang burung itu pulang. Dia taruh sarang burung itu di keranjang sepeda putihnya. Wajahnya berseri bukan kepalang! Sambil menyanyi riang si kecil mengayuh sepedanya pulang, tak sabar ia memamerkan apa yang ia temukan pada ibunya.

Kini si kecil sampai rumah, tak sabar langsung dia membawa setangkup sarang burung itu pada ibunya. “bu! Lihat apa yang adik bawa.!!!” Teriak si kecil sambil berlari menuju ibunya di dapur. Ibunya kaget, mendengar  teriakan si kecil yang riang. “apa, dik?” tanya ibu heran. “tarraa..! sarang burung dan ada bayi burungnya!! Hahaha”. Jawab si kecil riang. “kasihan bu, dia gak punya mama, egak tau kemana mamanya. Tadi sarang burungnya ada di tengah jalan. Adik kasihan, nanti bayi burungnya mati gak punya maem. Adik kasih maem ya, bu..? adik minta uang, mau beli bubur bayi. Kan dia masih bayi, jadi pasti maemnya bubur bayi..”. ungkap si kecil mengemukakan idenya. Si ibu tertawa, “dik, nanti kalo sarangnya dibawa adik, ibunya nyari.. kasihan. Dikembalikan aja ya?”. Langsung si kecil menolak, “egak mau, bu.. gak bisa dikembaliin, pohonya tinggi kok, adik gak bisa. hehe”. Akhirnya ibu mengalah, dengan memberi si kecil uang untuk pergi ke warung membeli bubur bayi. “dik, tapi sebenernya burung makanya cacing, egak makan bubur..”. si kecil berpendapat lagi, “kan mereka masih kecil bu, nanti keselek kalau maem cacing, kan gak bisa ngunyah..”

Ibu paham betul bagaimana si kecil yang sangat penyayang. Akhirnya ibu membiarkan saja si kecil dengan idenya itu. Sesampainya, si kecil mengajak kakaknya yang baru pulang sekolah menyuapi anak-anak burung itu dengan bubur bayi. Dengan cericit yang riuh, anak-anak burung itu menyambut satu persatu suapan bubur bayi si kecil dengan kakaknya. Namun, sedihnya setelah sekian suapan, paruh anak-anak burung itu tidak bisa terbuka. Kenapa? Karena paruh mereka lengket dengan bubur bayi yang diberikan. Hm.. si kecil bingung. Sesaat kemudian, semut-semut yang mulai mencium aroma manis bubur bayi dari sarang burung itu berdatangan. Cericit anak-anak burung yang terbungkam, tertahan lirih.

Sorenya, setelah bangun tidur siang, si kecil menengok lagi sarang burungnya. Sedih nian hati si kecil, ketika menemui anak-anak burung yang kecil itu lemah terkulai tak berdaya dan tak lagi bernafas dan dikerubuti semut-semut. Si kecil, sedih... dan berbisik pada anak-anak burung itu, “maaf ya burung...” wajahnya muram seperti mendung di langit yang kelabu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar