Sabtu, 31 Agustus 2013

"Pesan yang Dititipkan"



Sebab sebuah keterbatasan, maka ritual berkabar menjadi sangat berkurang. Dan memang dikurangi. Bukan karena ingin saling menjauhi, tapi pada karena kecintaan pada Sang Maha Kasih, hingga harus berjalan pada jalan yang berbatasan dan dibatasi.
 

Ritual berkabar, ternyata terbukti sudah, bahwa sebuah kabar tak harus disampaikan dengan sesuatu yang terlalu nampak.
 

Pejamkan mata. Berbisiklah dalam hati. Dan percayakan padaNYA untuk menyampaikan sebuah gelombang dalam hati pada hati yang lain. Betapa akan terlihat, sebuah ketulusan akan mampu menembus apa pun. Jarak, sarana, waktu, bahkan logika. Karena dalam ketulusan itulah Dia menurutkan keajaibannya.
 

Berisyaratlah, dan terbukalah pada tiap isyarat. Dia akan mengatur segalanya..

Kamis, 29 Agustus 2013

banyak yang tak bisa dikatakan,
dan aku membiarkanmu menilaiku dari apa yang nampak saja..
cukup tahu dan pahami..
mungkin terlihat seperti seorang yang terlalu rapuh,
atau terlalu kuat.
nilailah aku dari apa yang kau lihat
karena aku tak punya bahasa untuk mengungkapkannya

Pertanyaan yang Belum Terjawab

Di suatu siang setelah tangisan sehari lalu yang kesekian, seorang teman tiba-tiba datang..

“Ya’, aku mau tanya.. kadang aku mikir. Bagi orang yang belum pernah merasakan ice cream, dia gak akan tau betapa enaknya ice cream, tapi bagi orang yang sudah tau rasanya dan ketika dia disuruh tidak makan ice cream lagi pasti sulit kan? Karena ice cream itu bisa bikin gigimu bolong, makanya kamu gk boleh makan ice cream lagi. Orang yang belum pernah tau gimana enaknya ice cream pasti kalo diminta tidak makan ice cream, pasti gak susah kan.? Dan aku sekarang sedang sangat pingin makan ice cream lagi. Gimana ya Ya’, biar gak kepingin ice cream lagi? Kamu paham maksudku kan?”

Dan aku yang ditanyai hanya diam dan tersenyum.. menjawab sederhana, “Iya, paham banget. Karena aku suka ice cream dan tidak boleh makan ithu lagi.”

Kawanku ini, memang tidak seorang yang sangat dekat. Bahkan tak banyak yang tahu bahwa kami beberapa kali ngobrol bersama dan membicarakan hal-hal yang serius –tentang hati dan pandangan hidup. Dan aku selalu yang menjadi subjeknya bertanya banyak hal. Entah mengapa. Dan pertanyaanya siang itu, seakan membahasakan apa yang tidak bisa ku katakan pada siapa pun. Dia seperti membaca hatiku, namun padahal dia sedang bertanya pendapatku.

Kenapa tiba-tiba dia datang dan bercerita, lalu meminta pendapatku. Sempat terpikir untuk memberinya beberapa saran yang sedang ku tancapkan dalam hati juga untuk “mengurangi” makan ice cream. Tapi, ku urungkan, sebab aku juga sedang membiasakan diri untuk itu, jadi apa gunanya ku katakan pada kawanku ini.

Heran, dari sekian banyak benda yang bisa dikiaskan pada ceritanya, mengapa harus ice cream? Sepertinya... Allah.. hm, entahlah.

Pembicaraan kami berhenti, dan aku yang mengakhiri. Karena tempat dan kondisi yang tidak memungkinkan untuk berbagi cerita, terlalu ramai. Hm.. semoga ia tak menanyakannya lagi, selama aku juga mencari jawabanku sendiri.
Allah, mohon ampuni kami....



thank you for asking me, Tif..

Sabtu, 24 Agustus 2013

Setangkup Kue Bahagia


Hanya setangkup kue kecil berwarna coklat, dengan hiasan coklat putih dan krim gula yang berwarna indah. Bersama sebatang lilin yang telah membagi dirinya menjadi pendar yang anggun. Langit 15 juli yang tenang, angin yang berhembus dengan lembut menyelisik sulur-suur markisa. Dalam tangkupan itu ku bawa serta segala doa untuknya, tepat dalam hari kedewasaanmu. Tak terlalu binar seperti yang direncakan kebanyakan orang-orang, bertabur lampu dan hingar suara musik yang memenuhi ruangan. Cukup bagiku, nyala lilin dan langit berbintang yang menjadi hiasan. Serta gemerisik angin yang berlalu sebagai pengiring sabda alam.

Tidak kah dia tahu bahwa dalam tiap hitungan langkahnya mendekati setangkup kue ku, aku memandangi hatinya yang terus bermunajat. Menghitung jejaknya seperti menghitung debar yang nyaman. Bersama seringai senyuman yang hangat dan tetesan air mata yang tak nampak, ku ulurkan setangkup sederhana itu. Dan tiupannya membuat lilin itu berhenti membakar diri. Apa dikata, aku tak tahu apa yang ada dalam hatinya. Cukup bagiku melihat senyumnya yang kian dewasa, seperti aku percaya langkahnya akan semakin tegap dan matang menapaki jalan-jalan perbaikan.

: Selamat atas tertiupnya lilin bahagiamu. .
Bukan sebagai pertanda gelap, namun pertanda kau siap menyalakan yang baru dan lebih baik nantinya.. ^_^

~you

God... how could this man always make me cry and smile at the same time?
so, i do know how this felling goes to be
to be something that might be You -God always on our way
keep holding us, just like you made Adam and Hawa find out each other in the right way

Jumat, 23 Agustus 2013

when was the all words gone? i think i'm running out my tears.. and broke all words down of mine. i'm sorry, for being so weak.. i just wanna make my one last cry.

Kamis, 22 Agustus 2013

Hanya 30%

Bertahun lalu, ketika banyak belajar tentang apa itu menulis dan bagaimana.. seorang penulis senior berkata bahwa penulis profesional adalah penulis yang tidak lagi menulis tentang isi hatinya. Maksudnya adalah dia tidak selalu menjadikan tulisannya sebagai media menguras hati, bahkan tidak lagi hanya sekedar mencurahkan tapi menguras. Misalnya, ketika seorang merasa kehilangan, penulis yang dianggap profesional akan menuliskan sesuatu yang menggembirakan, bisa tulisan tentang kemeriahan perayaan atau suasana hingar bingar, bukan tentang sedu sedan.
 
Dan sejauh ini, jika takaran profesional adalah demikian maka tingkat keprofesionalan saya hanya sekitar 30% dan sisanya, saya masih menurutkan isi hati.
 
Hm. . tidak mudah memang menghasilkan sesuatu yang harus benar-benar keluar dari lingkaran egoisme hati. Wajar, sebab menulis adalah ekspresi diri. Namun akhirnya, memang tidak menjadi produktif, karena selama suasana perasaan kita tentang suatu hal maka sepanjang itu pula tulisan-tulisan kita akan “terjajah” oleh rasa pribadi yang terlalu egois.
 
Baiklah, mari dicoba! Kita tidak hanya menggunakan imajinasi hati dalam menulis tapi juga imajinasi pikiran yang berjalan.
 
Menulis keluar dari suasana hati.. dan cobalah memasuki suasana hati oranglain ketika menuliskannya.

Ini adalah salah satu puisi yang saya benar-benar “keluar” dari suasana hati dan murni menggunakan imajinasi, mencoba merasakan menjadi orang lain. Menjadi tokoh dari kehidupan orang lain dalam puisi. Dan jika sudah begitu, biasanya yang muncul dalam tokoh saya adalah seorang laki-laki. Mengapa? Entah, saya juga tidak tahu.
 
TAMU UNDANGAN

Malam itu,
Purnama sungkan padamu.
Lapis-lapis gaunmu mencemburuinya
Semua sinar meresap ketika kau lewat.
Beberapa terpantul,
Beberapa kau simpan.

Serumpun kembang
 akrab dalam genggaman,
Bunga yang ibumu belikan untukmu tadi siang.
Dalam arahmu, ada yang menanti
Seakan bertanya,
 kapan kau sampai disini?

Kaki menapak, menghitung
Satu-satu jejak yang akan kau jumpa
Punggung yang anggun, meghitung
Satu-satu jejak yang kau tinggalkan.
Mata yang penuh binar dan kaca,
Menatap lurus padanya
Seakan berkata
Aku datang…
    Dan aku, menikmatimu dari belakang
    Hanya menyimpan semua bayang
 yang semakin hilang
akhirnya, aku hanya jadi tamu undangan


bahkan padanya, ia tak pernah bisa jatuh dengan mudah. memilih saatnya sendiri untuk meluruh diri. dia paham bahwa sang empunya mata ingin selalu terlihat baik-baik saja.
: menangislah, tapi dengan bijak


SI KECIL DAN SETANGKUP SARANG BURUNG




Lagi-lagi si kecil yang senang berpetualag, kembali melakoni petualangan kecilnya. Kini dia tak lagi mengajak sepeda mini roda tiganya. Kini kaki si kecil mulai panjang dan dia sudah cukup berani untuk naik sepeda yang lebih tinggi dan beroda empat –ya, dengan sepasang roda bantu di sisi kanan dan kirinya. Bagaimana suara sepedanya? Jangan ditanya, berisik bukan kepalang. Ketika si kecil dengan sepedanya yang berwarna putih melintas di gang rumahnya suara roda bantunya yang tergesek aspal yang tidak rata itu bisa-bisa membangunkan anak tetangga yang tengah tidur siang, dan mereka sudah tahu pasti bahwa itu adalah suara sepeda si kecil. Si kecil tak peduli, dia terlalu senang bermain dengan sepedanya itu, bermain dengan angin yang terus menyepuh anak rambut dan poninya.

Kali ini, kemana si kecil mengayuhkan sepeda putihnnya? Satu tempat yang paling si kecil sukai sejak dulu. Adalah sawah yang berada di sebelah perumahan tempat si kecil tinggal. Sawah yang riuh, oleh gemerisik angin yang menyapa daun-daun padi, belum lagi suara cericit burung gereja yang menghampiri padi-padi yang merunduk, kemudian suara gemericing lonceng kecil milik pak tani untuk mengusir burung-burung itu, dan jika dia beruntung, si kecil akan bertemu dengan sekawanan bebek yang sedang digiring oleh pak peternak. Si kecil senang sekali duduk di tepi sawah itu, menikmati banyak hal yang bisa dia lihat dan merasakan angin yang menari-nari seakan ingin mengajaknya terbang.
Setelah beberapa lama, si kecil melanjutkan perjalananya. Kali ini si kecil memilih pulang saja, tapi dia memilih jalan memutar sebelum sampai ke rumahnya. Perlahan, sambil menikmati panas matahari si kecil mengayuh sepedanya yang berisik itu. Wah, lihat! di tengah-tengah jalan yang sepi itu si kecil menemukan sesuatu. Si kecil terlihat penasaran dan mulai mendekati sesuatu itu. sesuatu itu seperti jerami yang terpilin membentuk sekumparan benda melingkar, tidak terlalu rapi memang. 

Sekumpulan jerami dan daun-daun kering itu berbentuk seperti mangkuk yang tengahnya terbentuk cekungan. Si kecil yang makin penasaran mengambil benda tersebut, merekahkan cekungan itu sedikit. Dan, Hei! Dia ternyata menemukan sarang burung. Dan yang membuat si kecil makin girang adalah tidak hanya sarang burung, tapi juga ada tiga ekor anak burung yang mencericit lemah. 

Dilihatnya lagi, nampak sebutir telur burung yang sudah pecah terburai di sarang itu.
Selama ini si kecil tak pernah melihat sarang burung sedekat ini, bahkan sekarang dia dapat menyentuh sarang burung di setangkup tangan mungilnya. Ini seperti harta karun yang megah bagi si kecil. Merasa senang sekaligus iba, si kecil membawa sarang burung itu pulang. Dia taruh sarang burung itu di keranjang sepeda putihnya. Wajahnya berseri bukan kepalang! Sambil menyanyi riang si kecil mengayuh sepedanya pulang, tak sabar ia memamerkan apa yang ia temukan pada ibunya.

Kini si kecil sampai rumah, tak sabar langsung dia membawa setangkup sarang burung itu pada ibunya. “bu! Lihat apa yang adik bawa.!!!” Teriak si kecil sambil berlari menuju ibunya di dapur. Ibunya kaget, mendengar  teriakan si kecil yang riang. “apa, dik?” tanya ibu heran. “tarraa..! sarang burung dan ada bayi burungnya!! Hahaha”. Jawab si kecil riang. “kasihan bu, dia gak punya mama, egak tau kemana mamanya. Tadi sarang burungnya ada di tengah jalan. Adik kasihan, nanti bayi burungnya mati gak punya maem. Adik kasih maem ya, bu..? adik minta uang, mau beli bubur bayi. Kan dia masih bayi, jadi pasti maemnya bubur bayi..”. ungkap si kecil mengemukakan idenya. Si ibu tertawa, “dik, nanti kalo sarangnya dibawa adik, ibunya nyari.. kasihan. Dikembalikan aja ya?”. Langsung si kecil menolak, “egak mau, bu.. gak bisa dikembaliin, pohonya tinggi kok, adik gak bisa. hehe”. Akhirnya ibu mengalah, dengan memberi si kecil uang untuk pergi ke warung membeli bubur bayi. “dik, tapi sebenernya burung makanya cacing, egak makan bubur..”. si kecil berpendapat lagi, “kan mereka masih kecil bu, nanti keselek kalau maem cacing, kan gak bisa ngunyah..”

Ibu paham betul bagaimana si kecil yang sangat penyayang. Akhirnya ibu membiarkan saja si kecil dengan idenya itu. Sesampainya, si kecil mengajak kakaknya yang baru pulang sekolah menyuapi anak-anak burung itu dengan bubur bayi. Dengan cericit yang riuh, anak-anak burung itu menyambut satu persatu suapan bubur bayi si kecil dengan kakaknya. Namun, sedihnya setelah sekian suapan, paruh anak-anak burung itu tidak bisa terbuka. Kenapa? Karena paruh mereka lengket dengan bubur bayi yang diberikan. Hm.. si kecil bingung. Sesaat kemudian, semut-semut yang mulai mencium aroma manis bubur bayi dari sarang burung itu berdatangan. Cericit anak-anak burung yang terbungkam, tertahan lirih.

Sorenya, setelah bangun tidur siang, si kecil menengok lagi sarang burungnya. Sedih nian hati si kecil, ketika menemui anak-anak burung yang kecil itu lemah terkulai tak berdaya dan tak lagi bernafas dan dikerubuti semut-semut. Si kecil, sedih... dan berbisik pada anak-anak burung itu, “maaf ya burung...” wajahnya muram seperti mendung di langit yang kelabu.

Sabtu, 17 Agustus 2013

Si Kecil dan Kakek Kesayangan

Bagi si kecil, bunga yang dia petik dari perjalananya bersepeda adalah sesuatu yang paling indah. Sekarang, ketika si kecil tak lagi kecil, dia mulai mengerti bahwa bukan hanya bunganya yang membuatnya bahagia, namun teman masa kecilnya yang selalu sabar menemaninya melakukan penjelajahan sederhana dengan sepeda mungil dan mencari berbagai macam bunga.
Si kecil, berbicara tentangnya sama halnya ketika berbicara tentang anak perempuan kecil. Berponi, berkucir dua, senang pakai sepatu dan topi taman, dan sangat suka mencari bunga. Seperti kebanyakan anak kecil, dia juga susah makan. Bukan tidak mau makan, tapi makannya lama nian, bukan lagi hitungan menit tapi jam. Ibu si kecil adalah seorang guru, ayahnya juga bekerja, kakaknya sekolah, jadilah si kecil selalu diantar di rumah kakeknya dan siangnya akan dijemput untuk pulang ke rumahnya sendiri. Karena sungguh lamanya si kecil makan, ketika ibu si kecil tidak selesai menyuapinya, kakeknya lah yang turun tangan. Apa yang dirasakan si kecil? Sungguh bahagia! 

Disamping dia memang suka disuapi, terlebih jika bersama kakeknya. Kakeknya akan mengajaknya berpetualang dengan sepeda mini si kecil, berkeliling sembari menyuapi si kecil. Dengan sangat sabar dan selalu dengan wajah yang menyenangkan kakeknya menuruti kemana si kecil menggenjot sepeda mininya. Si kecil akan sangat siap, dia akan mengenakan sepatu dan topi taman yang berenda dengan motif bunga-bunga kecil. “Ayo kakek! Kita sepedaan...!!” dengan senyum yang lebar, karena dia tahu bahwa dengan berpetualang itu makan tak lagi menjadi peristiwa yang membosankan. Kakeknya dengan celana olahraga, bertopi, dan pasti membawa sarapan si kecil dan botol minum itu pun juga berseringai damai, “ayo..!!”
Keranjang sepeda mini si kecil yang tadinya kosong, sesaat kemudian akan penuh dengan berbagai macam warna bunga. Dari bunga rumput yang banyak dilupakan orang, sampai bunga yang indah menawan, semua ada di keranjang sepeda mini si kecil. Yah, walaupun sepertinya memang makan si kecil tidak menjadi cepat, tapi paling tidak, makan menjadi hal yang menyenangkan bagi si kecil.
Seringnya, bunga yang si kecil inginkan adalah bunga yang tak bisa terjangkau tangannya, jadilah  kakeknya yang memetik untuknya. Dengan penuh kesabaran dan wajah yang damai. Saat itu, si kecil tak paham apa kah kakeknya sudah lelah atau tidak, yang dia tau wajah kakeknya selalu tersenyum dan penuh sabar menyuapinya satu persatu. Barulah ketika sarapan sudah habis walau habisnya sarapan pun juga sudah menjelang siang, mereka pulang. Dan tentu dengan keranjang sepeda yang penuh dengan bunga. Si kecil sangat merasa senang dan puas! Bunga-bunga yang banyak itu biasanya akan dia berikan kepada neneknya, dengan seringai polos senyuman puas. Dengan sangat senang neneknya akan menerima bunga itu. Yang lebih puas lagi, akhirnya sarapan si kecil tandas sudah. Nanti, ketika ibu si kecil menjemput, si kecil akan bercerita perjalanannya bersama kakek dengan kata yang belum runtut dan penuh semangat, tak berhenti-berhenti hingga terkadang masih ia teruskan di atas sepeda motor menuju pulang ke rumah.
Kisah si kecil dengan kakeknya yang penuh warna, sama seperti warna bunga-bunga yang ada di keranjang sepeda si kecil, beraneka rupa cerita. Kini, si kecil yang telah dewasa memahami, betapa lelahnya kakek saat itu, menuruti genjotan mungil sepeda mini si kecil berkeliling, belum lagi panas yang tentu menimpa kulit kakek. Kini, ia mampu mengartikan segala senyum dan wajah damai sang kakek. Suatu kenangan yang luar biasa dalam. Dan semakin terasa terukir dalam ketika senyum sang kakek tak lagi bisa dia jumpai selamanya, tak lagi bisa dia ajak bersepeda bersama sambil mencari bunga..
Dia akhirnya paham, bahwa perjalanan itu menyenangkan bukan hanya karena bunga yang dia petik, tapi karena kakek yang menjadi sahabat perjalanannya.



DIA yang Maha Menghindarkan

Kisah ini mungkin biasa saja, namun bisa juga menarik. Dan tak pernah ada paksaan untuk sebuah penilaian, setidaknya begitu yang ku berlakukan dalam duniaku, setiap hati berhak menilai sesuka hati mereka membatinnya.
Ini adalah kisah sederhana, namun dari sana ditemukanlah sebuah cara Allah menjaga dua insan.
 
Suatu saat sebutlah seorang perempuan dan lelaki yang memiliki keterikatan hati pergi bersama. Tanpa rencana, setidaknya bagi salah satu pihak, sebab ajakan itu mendadak dan ya sudah, akhirnya mereka pergi. Tidak.. bukan sesuatu yang istimewa, seperti ajakan makan mendadak dengan tiba-tiba ada lilin penghias di meja. Jadi si lelaki baik hati ini hendak memberi adik perempuannya sebuah baju, dia ajaklah si perempuan pergi ke toko baju dan meminta memilihkannya baju untuk adiknya. Apa kah ini istimewa? Bagi mereka istimewa, namun sesungguhnya dalam hati si perempuan ada kegundahan. Mereka sempat berjanji untuk tidak pergi berdua saja, harus ada orang ketiga. Apa kah ini istimewa? Ku katakan, janji itu sangat istimewa. Tidak semua orang berani dengan janji itu.
 
Sebab si perempuan tidak terlalu berpikir rumit, dan dia berpikir: kami tidak duduk berdua, berhadapan dan berlama-lama, di toko baju yang ramai dan pasti sibuk memilih. Singkatnya, si perempuan menyanggupi dengan sekelumit doa : Allah, lindungi kami dari godaan setan, apa yang kami inginkan adalah keridhoan di SisiMu, sebab aku memilih dan memulai bersamanya atas namaMU.
Sampailah mereka ke sebuah toko baju yang ramai dan sudah bisa di pastikan didominasi kaum Hawa. Ya.. akhirnya mereka memilih-milih baju, dan sebagainya. Uhm.. tentang apa yang ada diperasaan masing-masing? Suatu saat akan diungkap, namun tidak pada tulisan ini, sebab bukan itu fokusnya.
 
Hingga suatu ketika, bertemulah si lelaki dengan kawan perempuan mereka berdua. Lalu kemudian, si perempuan melihatnya, dan hei! Kita bertemu disini. si kawan perempuan itu menganggap lucu, bagaimana bisa mereka bertemu di keadaan seperti ini! Ini sangat ajaib, apalagi melihat si lelaki kemudian dalam setangkapan mata bertemu dengan si perempuan, dengan mengingat kisah yang ada diantara sepasang kawannya “dulu” itu, sebab ia tak tahu apakah masih berkisah atau tidak. Jadilah mereka bertiga. Dan sungguh, si kawan perempuan ini tak menyadari bahwa memang sesungguhnya sepasang kawannya itu memang berangkat bersama. Disinilah si perempuan tadi tersadar: Allah, sungguh Engkau Maha Pelindung, bahkan Kau masih menghindarkan kami dari fitnah, bahkan Engkau tak rela membiarkan kami melanggar janji kami sendiri, hingga Kau kirim bagi kami pihak ketiga.
 
Tak lama, ketika si kawan perempuan menuju sudut yang lain, dan tinggallah si perempuan dan si lelaki masih berdiskusi memilih baju, muncullah kawan perempuan yang lain. Dia sangat tertegun, tak percaya dia melihat sepasang ini berada didepan matanya memilih baju yang sama. Tak canggung, si perempuan menghampiri kawan perempuannya yang baru saja melihat mereka ini. Dan memastikan bahwa mereka tak hanya berdua, ada kawannya yang lain yang dia kenal dan memang tidak sengaja bertemu disana. Ya, si perempuan memang tidak berbohong, hanya ada yang tidak dia katakan. Apa itu salah? Entah, yang jelas dia teringat bahwa sesungguhnya Allah telah menutupi “aib” makhlukNYA, dan mereka lah yang dengan sengaja membukanya. Maka, si perempuan pun berpikir, ini bukan pembohongan bahkan Allah pun turut tangan dalam pertemuan ini.
Hm. . Allah Maha Rencana,
 
Bagaimana jika si lelaki dan si perempuan tidak bertemu dengan kawan pertamanya dahulu? Bahkan pertemuan dengan keduanya itu dibuat di waktu yang tidak sama dan di sudut yang agak berbeda, hingga memang terlihat seperti bertemu secara tak sengaja dan terkesan berangkat sendiri-sendiri. 
Lain dengan ketika bertemu dengan kawannya yang kedua, dia berada di tempat yang sama dengan waktu yang bersamaan. Namun, amannya si perempuan bisa menunjukkan kawannya yang pertama sebagai “penguat” mereka tak hanya berdua.. itulah mungkin alasan Allah mempertemukan mereka dengan urutan yang demikian. Tidak ada yang tidak sengaja.
Allah... Berbicara tentang rencanaNYA, bahkan kita tak sanggup. Sungguh ketidaksangkaan yang ada.
 
Dalam kisah ini, terlihat jelas bagaimana sesungguhnya Allah melindungi umatNYA dari sesuatu yang merugikan umatnya. Bukan dengan membenarkan sepasang itu pergi berdua, bahkan lebih dari itu Allah tidak ingin setan menjadi pelengkap “kebahagian” umatnya yang sedang merasakan Fitrah manusia. Malah Allah dengan baik hatinya mengirimkan pihak ketiga untuk melindungi keberduaan sepasang itu dan menghindarkan mereka dari fitnah pihak ke empat, yang bisa salah tafsir ketika melihat sepasang itu bersama.
 
Sungguh Indah. .
Allah mengajarkan, jangan pernah mengingkari janji baikmu sendiri. Mungkin kali ini Ia “melindungi” namun entah bagaimana pelajaran di saat yang lain ketika mereka mengingkari janji mereka untuk ke dua kali.
: Berjalanlah kita dengan perlahan dan hati-hati, yang terpenting adalah terus berjalan dengan lurus dan istiqomah terhadapnya.

Jumat, 16 Agustus 2013

ES KRIM



Suatu hari, aku melihat anak kecil merengek ingin segera mendapatkan es krimnya. Dia merasa telah menunggu sangat lama untuk mendapatkan manis es krimnya,
Dan aku dalam hati, berkata : nak, suatu saat ketika kau beranjak dewasa ketika kau menginginkan “es krim” kau harus menunggunya begitu lama, bahkan bertahunan. Penantian itu akan terasa sulit memang. Namun, ketika nanti kau telah mendapatkan “es krim” itu dalam genggamanmu kau akan merasa sangat bahagia dan merasa penantianmu adalah hal yang memang patut dilakukan untuk mendapat “es krim” termanis yang kau inginkan.. maka, bersyukur dan bersabarlah.

Kamis, 15 Agustus 2013

Hulu Kenangan Bermuasal

Atas nama Kenangan dalam dua lembar kertas..

Dalam masa mendatang, kita tak pernah tahu apa yang akan Dia rencanakan. Sungguh sama, ketika kita menengok kembali tiga, lima, bahkan tujuh tahun yang lalu. Pernah kah kita berpikir untuk bertemu? Menjadi sesuatu yang serupa saat ini? Sungguh, kisah ini adalah kejutan termanis yang Dia berikan padaku.

Lima tahun yang lalu, aku baru beranjak 15 tahun, masih berseragam biru-putih, di sebuah sekolah yang sudah serupa rumah kedua bagiku. Pagi hingga mungkin menjelang petang aku menjelajahi sekolah itu, kau bisa tanya pada bangku-bangku perpustakaan, pintu-pintu kelas, meja-meja kantin, sebuah ruangan penuh makna yaitu ruang OSIS. Disana semua karya pertamaku ku raih. Karya-karya yang sungguh baru pertama kali ku lakukan, menjadi ketua OSIS, sekaligus ketua umum semua kegiatan di sekolah, pendrama bahkan menjadi assisten mentor, membuat majalah untuk pertama kalinya, menjuarai beberapa lomba hingga menguatkan langkahku untuk merambah lebih jauh nantinya, mengadakan acara yang baru pertama kali di sejarah sekolah itu –wayangan dan lomba bedug, meraih capaian di pramuka. Belajar banyak hal, mengenal dunia yang ternyata tak hanya hitam dan putih. Serta merencanakan banyak impian menuju dunia putih abu-abu. Dan saat itu, aku belum mengenalmu. Apa kabar kau di entah sana? –Tuhan masih menyimpanmu.

Tiga tahun yang lalu –17 tahun, menyimpan banyak cerita tentang apa pun dan dengan siapa pun. Hampir telah ku coba bagaimana hidup dengan berbagai dunia. Dunia remaja yang penuh gelak tawa, impian dan rama-rama cahaya, bahkan air mata. Dunia profesional yang mengenalkanku pada banyak orang-orang hebat, dari istri mentri, direktur umum sebuah harian lokal, wartawan, fotografer, budayawan, sejarawan, sastrawan dengan berbagai alirannya yang baru ku kenal saat itu, penulis, komikus, desainer, penyiar radio. Hm.. terlihat hebat? Tidak, dunia yang lebih hebat menurutku adalah dunia ketika aku masih bercengkrama akrab hingga sekarang dengan tukang batagor dari SD sampai SMP, penjaga sekolah, tukang bersih-bersih, dan ibu-ibu kantin. Kemudian, aku berjabatan dengan dunia persahabatan yang kuat, dunia ini memang hanya milik kami bertiga. Suatu saat kau harus berkenalan dengan dunia dengan tiga sisi ini, dunia inilah tempat semua harta karun dan rahasia tersimpan.

Pada saat ini pula, aku merasakan bagaimana hidup dalam dunia abu-abu. Belajar untuk mengikhlaskan rasa kehilangan. Menyembunyikan banyak air mata untuk terlihat tak apa. Padahal dalam hatiku aku remuk redam, menyimak bayangan beliau yang tiba-tiba lenyap. Seperti debu yang terbawa angin, benar-benar tandas. Sebuah ruangan lengang, sangat lengang.. begitu kah rasanya ditinggalkan? Hingga air mata tak jatuh dari dua bola mata, namun sungguh langsung basah ke hati. Seperti tak ada udara. Sesak dan sakit. Sempat tak bisa memahami harus berlaku seperti apa. Sampai pada suatu ketika, beliau hadir dalam mimpi dan sebuah pesan yang menancap kuat : istiqomah, nduk..
Aku kehilangan teman diskusi, teman bermain, seorang kakek, seorang guru, seorang penasihat, seorang yang bijaksana, seorang dengan binar mata yang bening seperti telaga menyambutku diambang pintu ketika aku menyerahkan dua piala untuknya. Seorang pembaca setia setiap karyaku, seorang yang sabar menyuapiku, seorang yang meminumkan obat ketika aku sakit, seorang yang suka air madu yang ku buat untuknya, seorang yang membantuku membuat mainan. Seorang imam yang tenang, seorang sosok suami yang diidamkan, seorang ayah yang ku inginkan untuk anak-anakku nanti. Seorang yang bersahaja dengan sepeda ketika semua kepala sekolah mengendarai mobil. Seorang yang dikenal dari orang seusianya, hingga anak-anak di kampung. Seorang yang selalu bersikeras berjalan ke masjid, seorang yang berusaha mengeja Qur’an. Seorang tukang kebun yang handal, seorang penyayang binatang yang lembut. Seorang yang menginginkanku menjadi seorang penulis, seorang yang menginginkanku menjadi seorang psikolog dan guru. Seorang yg menanamkan banyak hal tentang rasa sosial. Dan. . . seorang yang saat ini tak bisa ku ceritakan tentang semua keinginannya padaku dan telah tercapai..

Dunia yang lain adalah sebuah dunia perubahan, dunia yang lahir dari sebuah tekad dan kenekatan. Begini ceritanya, setiap pulang sekolah aku lebih sering naik angkutan umum, jangan ditanya berapa lamanya, lamaaa sekaliii.. kau bisa tidur dengan nyenyak disana, kau akan diajak berkeliling kota. Dari sekolah hingga depan gang rumah, bisa mencapai hampir satu jam. Rute angkutan itu melewati sebuah perkampungan yang sangat kuat dengan orang-orang nasraninya, bahkan disatu kampung itu terdapat dua atau tiga gereja, dan memang banyak orang-orang etnis yang tinggal disana, suatu saat aku melihat pembangunan sebuah masjid. Aku mulai berpikir dan bersyukur, akhirnya ada masjid di sekitar sini. Setelah beberapa bulan, masjid sederhana yang tak bisa dikatakan besar itu berdiri. Karena setiap hari aku melewatinya, aku semakin penasaran dengan masjid itu. Hingga suatu hari, dengan mengucap namaNya, aku memulai langkah. Aku menceritakan temuan masjid ini ke beberapa teman Rohis –meski aku bukan termasuk pengurus Rohis. Aku mengajak beberapa teman untuk bersilaturahim ke masjid itu, niatku adalah mengajar TPA disana, ku pikir mungkin belum ada kegiatan disana. Setelah kesana bertemulah kami dengan sebuah keluarga yang memiliki masjid yang ternyata wujudnya adalah masjid wakaf keluarga. Memang rumah keluarga itu satu halaman dengan masjidnya. Dan ternyata, disana sudah berjalan kegiatan TPA namun sayangnya hanya ada satu pengajar dan itu laki-laki –anak dari pemilik masjid. Keluarga itu menyambut kami dengan sangat hangat dan menyenangkan, bahagia ada yang mau membantu mengajar. Jadilah kami mengajar TPA disana, dari sinilah aku mulai menapaki apa arti kata pengabdian yang sesungguhnya. Bertemu dengan banyak adik-adik yang cerdas dengan latar belakang kisah keluarga masing-masing. Ada yang selalu ingin aku dandani dan mencoba gaya berjilbabku, lucu! Ada seorang anak yang terlahir dari keluarga yang berbeda agama, dia adalah satu-satunya anak muslim diantara saudaranya, dan yang mengharukan dia sangat semangat TPA.

Dan satu lagi, dunia anak-anak. menjadi assisten teacher sebuah Paud yang baru berdiri. Diajak belanja keperluan Paud, mendekorasi ruang kelas, bertemu dengan orang tua wali untuk pertama kali, memakai sebuah name tag yang tak mungkin ku buang –bertuliskan “bunda tiara”, dan masih teringat sebuah pagi yang indah ketika menyapa anak-anak didik untuk pertama kali. Berbagai kisah dirajut disana. Mengenal bagaimana membuat materi pembelajaran PAUD, menyiapkan keperluan mengajar, membuat permainan. Mendiamkan anak yang rewel sambil menggendongnya hingga dia akhirnya terlelap dalam dekapanku. Mengajari anak berlari, bayangkan bahkan ada anak yang tak berani berlari, dia takut berlari, dan harus ku ajari. Dan kemudian menghantarkan anak-anak dari ujung pintu kelas ketika mereka dijemput orang tuanya,  dan sebelum itu membantu memakaikan mereka sepatu, membereskan alat makan dan alat tulisnya. Kenangan indah yang tak mungkin terlupakan.
Ketika aku sedang menjalani hari-hariku, dimana kamu? Mungkin kau juga sedang melakukan banyak hal, bahkan aku yakin kisahmu lebih hebat dari ini. Saat itu, Bahkan aku tak bisa membayangkanmu..

Aku hanya menyebutmu dalam sebuah doa tanpa nama. –Tuhan tetap masih menyimpanmu.
Tiga bulan lalu –mei, menjadi nyatalah apa yang mungkin Tuhan simpan, keyakinan dan kemantaban untuk berlarung bersama. Sedepa kemudian, kembali kita harus menjalani hari masing-masing. Benar-benar masing-masing, bermain layang-layang sendirian, mengulur talinya terlebih dahulu, untuk membiarkan kita merasakan angin dibawah sayap masing-masing, untuk bisa terbang lebih tinggi lagi kuat untuk mengendalikan badai.

Kita berawal dari hulu yang berbeda, menjalani aliran sungai masing-masing dengan kisah yang berbeda. Dan kita hidup seperti sebuah perahu kertas yang menjalani saja titah Tuhan membawa kita entah sampai mana. Kita bawa serta semua cerita dalam perahu itu. Hingga suatu saat, dua aliran sungai dengan arahnya masing-masing Ia pertemukan dalam sebuah aliran yang lebih besar. Bukan aliranya saja yang besar, tapi juga kedalamanya yang semakin dalam. Lebih curam, lebih menikung. Tapi tahukah kau, dengan segala keriuhan aliran sungai kita ini aku merasakan sebuah ketenangan. Ketenangan yang selalu ku persembahkan untukNYA, yang telah membuat aliran sungai ini begitu ajaib dan sampai pada sebuah pertemuan antar alirnya. Tidak peduli bagaimana halangan yang menerpa, ketika ketenangan itu telah menggenapi jiwa maka yang ada hanyalah sebuah prasangka bahwa Dia menyiapkan yang lebih baik dan terbaik. Segalanya tak pernah terduga, bagaimana kita kan melewati masa mendatang. Sama seperti tak menduganya kita pada sebuah pertemuan agung ini. Biarkan Tuhan menurutkan kehendakNYA dari awal hingga akhir, pertemuan yang telah Tuhan lakukan pada kita pasti bukan tanpa maksdu apa-apa. Aku masih merasakan, sesuatu yang besar menunggu kita di dermaga. Mungkin disana Tuhan menyiapkan sebuah pemandangan terbitnya matahari dari garis horison yang melengkung anggun, dengan sinarnya yang berbinar keemasan menimpa riak air pantai dermaga itu..

: Semoga Tuhan tetap menyimpanmu untukku, Tidak kah aku berlebihan?

Songgolangit, 31 Juni 2013 (21:23)

ساواريا


Saawariya, sedang waktu terus melaju dihadapanmu. Menggenangkan kenangan yg terus mengalir. Hingga harus menahan apa yg selalu ingin tertuang dlm kata.

Saawariya, tidak sebentar waktu yg kita pacu. Bertahanlah kita dalam degub masing-masing. Hanya ada tanah dan langit. Serta Dia yg menjaga ikatan keduanya.


Sabtu, 10 Agustus 2013

Surat utk seorang adik

Salam.. Mungkin memang terdengar asing dan canggung, tapi ku mohon terimalah salam yg bisa ku berikan padamu ini. Salam seorang kakak yg baru saja hadir di hidupmu.
Adik, betapa pun aku dan kau sama. Kita sama2 seorang perempuan yg tak pernah ingin kehilangan. Apa kau mulai berpikir utk kehilangan seorang kakakmu?
Tidak, jgn pernah kau merasa demikian, dia tetap akan menjadi milikmu. Masih sama seperti sebelumnya, dia akan tetap menjadi kakakmu yg melindungimu, yg tetap setia menghantarkanmu, yg tetap bisa menjagamu, dan tetap bisa menampung ceritamu.
Aku paham, sesungguhnya keinginan kita sama. Sama-sama ingin berada disisinya. Yaa.. Tentu dengan posisi yg berbeda. Tenanglah, aku akan tetap mengingatkanny utk memiliki waktu bersamamu.
Bahkan, satu janjiku padamu. Bukan hanya dia yg akan menjaga, membahagiakan dan menahan air matamu.. Tapi aku juga akan demikian.
Bolehkah aku juga duduk disampingmu? Seraya kakakmu juga akan ada disisimu?
Menyeduh senja bersama..

Rabu, 07 Agustus 2013

Menunggu kabar

Menanti sebuah kabar dr seberang.. Berjuta2 detik yg perlu diterjang. Hanya demi sebuah kalimat : semua baik2 saja. Namun kiranya, kabar itu datang tak tepat pada waktunya. Hingga segala resah menampakkan wujudnya.
Dan, apa kah ini benar2 baik2 saja.. Atau ada yg sedang terjadi diluar kendali? Bergenggam aku padaMu, Tuhan..
Lemah sudah degub menunggunya pulang. . Meski tak lelah berharap pintu segera terketuk dan dia hadir di ambangnya menyeringai senyuman senja..

Selasa, 06 Agustus 2013

Dalam doaku

Dalam doaku, shubuh ini kau menjelma langit, yg semalaman tak memejamkan mata.
Yg melengkung bening siap menerima cahaya pertama..
Yg meluas hening siap menerima suara-suara...

Dalam doa malamku, kau menjelma denyut jantungku. . .

*sapardi djoko damono